Skenario Membangun ISP Daerah
MASALAH mendasar yang dihadapi di daerah adalah keterbatasan infrastruktur, terutama akses internet yang memadai. Ada akses Telkomnet Instan di sekitar 240 kota namun tentu saja ini tidak layak untuk akses massal. Produk ini diposisikan bagi akses personal sehingga kapasitasnya sangat terbatas.
Sedangkan yang dibutuhkan warnet, pemda, dan lembaga pendidikan biasanya adalah akses massal yang memerlukan kapasitas besar. Kalaupun ada koneksi 24 jam dedicated di daerah, umumnya juga terbatas kapasitasnya. Sehingga sering kali tidak mencukupi kebutuhan serta mahal.
Kendala penetrasi internet daerah adalah infrastruktur. Telkomnet ada di semua kota namun tidak memadai untuk akses massal. Sifat layanannya on demand, non-dedicated, kapasitas terbatas, serta time based cost yang menyebabkan akses internet kurang ekonomis.
Fasilitas penting seperti IP Address publik untuk layanan in-house server tidak tersedia. Warnet, pemda, dan pendidikan memerlukan akses dedicated dengan fitur lengkap. Di luar Pulau Jawa, akses seperti ini menjadi mahal dan reliabilitasnya rendah.
Solusi yang tersedia
Koneksi dedicated dari ISP lokal yang terbatas kapasitasnya (melalui Leased Channel, Frame Relay, maupun Wireless LAN), dapat dikombinasi dengan akses internet satu arah via satelit menggunakan teknologi DVB (Digital Video Broadcasting). Solusi ini mereduksi biaya akses internet di daerah dan meningkatkan kapasitas.
Solusi ini membutuhkan peralatan sepasang modem baseband (bekas) seharga Rp 6 juta, Router Cisco 2500 series (bekas) seharga Rp 4 juta, registrasi dan instalasi seharga Rp 2 juta. Biaya investasi mencapai Rp 12 juta. Pilihan lain adalah Wireless LAN point-to-point seharga 900 dollar AS, tower triangle setinggi 32 meter seharga Rp 10 juta. Total investasi mencapai sekitar Rp 18 juta.
Kombinasi ini menghasilkan efisiensi akses karena jalur internasional dan IIX (Indonesia Internet Exchange) dipisah. Bila hanya menggunakan sambungan ke ISP (Internet Service Provider) lokal, saluran itu digunakan untuk upstream/downstream IIX serta upstream/downstream internasional.
Dengan kombinasi downstream DVB, maka efisiensi sambungan ke IIX meningkat dengan alur upstream/downstream IIX, upstream ke internasional, dan downstream internasional sepenuhnya dari DVB.
Karakteristik utilisasi internet Indonesia untuk download dari internasional menunjukkan kalau kebutuhan kapasitas internasional selalu 4 kali lebih banyak dari IIX. Misalnya, downstream internasional DVB 512 kbps, membutuhkan upstream 128 kbps dari ISP lokal sekaligus IIX. Maksimalisasi IIX/lokal, misalnya untuk online games, sementara internasional tidak terganggu.
Sedangkan biaya investasi perangkat DVB One Way terdiri dari antena parabola mesh (Rp 2,5 juta), Low Noise Blocker (LNB) seharga Rp 250.000, komputer refurbish (Router DVB) seharga 2 juta, DVB Card PCI seharga 250 dollar AS. Dengan kapasitas 3 Mbps total investasi yang dibutuhkan bisa mencapai Rp 7 juta.
Solusi daerah
Apabila tidak tersedia akses upstream dedicated dari ISP lokal, maka solusi satu-satunya adalah akses VSAT Two Way. Tentu saja biaya investasi cukup mahal. Solusi paling ekonomis adalah DVB RCS Linkstar. Investasi peralatan VSAT paling rendah mencapai 7.000 dollar AS. Biaya bulanannya 128 kbps upstream dan 512 kbps downstream adalah 1.920 dollar AS.
Namun perlu dicatat, akses DVB RCS ini adalah burstable atau sharing kapasitas dengan pengguna DVB RCS lainnya. Sehingga idealnya perhitungan kapasitas yang bisa diandalkan adalah sekitar 1/2 dari 128/512 kbps tersebut pada saat peak (puncak). Meskipun demikian, Linkstar DVB RCS tetap merupakan pilihan paling rasional untuk daerah yang tidak tersedia infrastruktur akses upstream dedicated sama sekali.
Pilihan lainnya menggunakan teknologi SCPC (Single Carrier Per Channel) DVB upstream/downstream. Harga perangkat lebih mahal (mencapai 20.000 dollar AS) dibanding DVB RCS. Belum lagi biaya bulanannya. Namun, kualitas koneksinya terbaik karena memang ditujukan untuk penggunaan lingkungan perusahaan.
Ada juga SCPC Two Way. Ciri dari penggunaan teknologi ini adalah SCPC upstream/downstream, kanal transponder satelit dedicated, tidak sharing dengan pengguna lain. Remote dan hub dihubungkan modem point-to-point. Perangkatnya mahal (mencapai 30.000 dollar AS) dan biaya bulanan premium. Kualitasnya terbaik, mampu menangani kapasitas asimetrik.
Asumsi biaya
Keputusan Menteri Perhubungan No 5 Tahun 2005 membebaskan penggunaan frekuensi 2,4 GHz untuk digunakan sebagai infrastruktur internet last mile untuk kepentingan umum. Cakupan teknologi 2,4 GHz ini mencapai radius 4-6 km untuk satu BTS (Base Transmission System). Kebutuhan teknologi ini antara lain, satu Access Point seharga 750 dollar AS yang bisa melayani 16-32 buat outstation, satu Omnidirectional Antenna 15 dbi seharga 350 dollar AS, sebuah tower triangle 32 meter seharga Rp 10 juta. Total investasi bisa mencapai Rp 20 juta untuk penggunaan teknologi ini. Sedangkan untuk CPE (Client Premise Equipment) setiap titik outstation harganya bisa mencapai 500 dollar AS.
Sedangkan untuk keperluan investasi kantor dan Network Operation Center (NOC), rinciannya adalah sebagai berikut, PC Server seharga Rp 20 juta, KVM Switch, UPS Server/WLAN seharg Rp 5 juta, Manageable Switch 16/24 port seharg Rp 5 juta, Office Switch dan Workshop Switch seharga Rp 4 juta, stabilizer, grounding, dan surge protector (mencapai Rp 5 juta), Office Desktop dan Workshop seharga Rp 21 juta, Network, WLAN dan Working Tool Kit seharga Rp 5 juta, dua buah AC dan furnitur seharga Rp 10 juta. Total investasi Rp 75 juta.
Biaya produksi dan harga jual layanan kalau diasumsikan kapasitas 128 kbps upstream ke ISP lokal, sekitar Rp 12 juta per bulan. Asumsi kapasitas downstream DVB 512 kbps, sekitar 1.270 dollar AS (Rp 12 juta) per bulan. Biaya registrasi dan deposit untuk 512 kbps downstream, sekitar 900 dollar AS (satu kali). Total biaya akses sekitar Rp 24 juta per bulan.
Untuk biaya operasional dirinci sebagai Manajer (sekitar Rp 2 juta per bulan), Administrasi sekitar Rp 1 juta per bulan, Network Administrator sekitar Rp 1 juta per bulan, dua orang teknisi lapangan sekitar Rp 1,5 juta per bulan, 1 orang Marketing sekitar Rp 1 juta per bulan, listrik, ATK, telepon, dan lain-lain sekitar Rp 1,5 juta per bulan. Total operasional Rp 8 juta per bulan.
Maka total biaya produksi sebuah ISP di daerah adalah sekitar Rp 32 juta per bulan dengan kapasitas terpasang 128 kbps upstream dan 512 kbps downstream.
Proyeksi dari klien warnet, diasumsikan kapasitas 128/512 kbps bisa untuk 128 workstation, kualitas setara dial up (4 kbps). Dapat dibagi ke 8 warnet masing-masing dengan akses 64 kbps/16 unit atau 16 warnet masing-masing 32 kbps/8 unit. Tarif bulanan ISP Rp 3 juta (32 kbps) dan RP 5 juta (64 kbps). Proyeksi pendapatan, 8 warnet x Rp 5 juta = Rp 40 juta atau 16 warnet x Rp 3 juta = Rp 48 juta. Tingkat laba kotor (gross, sebelum pajak dan pengembalian investasi) sekitar Rp 8-16 juta.
Personal dan RT/RW Net dan DESA/KAMPUNG net
Para ISP melakukan rasio akses berdasar idle capacity antar pelanggan. Karakteristik personal adalah on demand, tidak bersamaan dan tidak kontinu. Sehingga bisa dilakukan sharing ratio, idle time/capacity bisa digunakan klien lain.
Idle capacity bisa mencapai 16-32/64-128 kbps. Dialokasikan untuk 8-16 personal. Dilayani menggunakan kabel Ethernet di sekitar lokasi BTS atau akses WLAN. Untuk short range menggunakan antena kaleng homemade, sehingga menekan biaya CPE hingga 200 dollar AS.
Tarif flat akses personal Rp 300.000. Potensi pendapatan 8 x Rp 300.000 = Rp 2,4 juta atau 16 x Rp 300.000 = Rp 4,8 juta. Pelanggan mendapat kualitas setara dial up 24 jam sehari 7 hari seminggu (24/7). Profil pelanggan adalah yang terbiasa dial up di atas 30 jam per bulan dan mampu membeli CPE.
Potensi sejenis personal adalah SOHO (Small Office Home Office). Karakteristik SOHO, peak pada jam kerja, sebaliknya personal peak setelah jam kerja. Potensi rasio time sharing antara SOHO dan personal memungkinkan tambahan pendapatan ISP.
ISP pendidikan
Apabila penyelenggara ISP di daerah ini untuk kepentingan pendidikan/sekolah/kampus, maka asumsi penyelenggara akses tidak mengambil keuntungan, maka setiap sekolah akan menanggung iuran akses internet sebesar Rp 24 juta untuk 16 sekolah atau sama dengan Rp 1,5 juta per bulan.
Akses tersebut bisa dipergunakan untuk 16 sekolah sekaligus. Dengan asumsi penggunaan akses yang tidak excessive, maka tiap sekolah bisa menambah jumlah komputernya dari standar 8 unit PC menjadi 10-12 komputer. Tentu ada pengorbanan kualitas, namun tidak signifikan. Namun harus dilakukan pengaturan melalui proxy (cache engine) dan traffic limiter (QoS) di sisi penyelenggara (Network Operation Center) ISP pendidikan.
Untuk membantu biaya operasional dan maintenance, selain mendapatkan subsidi dari anggaran oleh lembaga pendidikan, jaringan ini bisa dikombinasikan dengan layanan komersial. Kapasitas yang ada juga didistribusikan untuk melayani warnet/SOHO/RT/RW Net di sekitar lokasi.
Kenyataan sangat sulit melakukan perhitungan ekonomi yang sustainable apabila suatu ISP beroperasi berbasis pasar dari dunia pendidikan saja. Tak dapat dihindari apabila ISP pendidikan juga harus punya orientasi komersial demi kelangsungan hidupnya sendiri. Hasil yang diperoleh bisa digunakan sebagai modal pengembangan, karena ISP pendidikan umumnya sulit mendapatkan komitmen investasi ulang.
Dengan mengurangi keuntungan kotor dan operasional maksimal Rp 32 juta per bulan, diperlukan sekitar 50 persen komposisi alokasi kapasitas untuk layanan komersial. Dengan rasio berorientasi kuantitas, dapat dipenuhi standar harga yang dikehendaki pasar pendidikan sekitar Rp 1,5 juta. Angka tersebut adalah maksimal, dalam arti tidak dapat lebih rendah lagi dan jumlah maksimum institusi yang dilayani adalah 16-32 institusi dengan penambahan BTS.
Kendala ISP daerah
Masalah utamanya regulasi. Skenario di atas, melanggar banyak aturan pemerintah. Mulai ketentuan badan hukum penyelenggara jasa internet, legalitas landing right karena mengambil langsung bandwidth internasional, hingga masalah sertifikasi peralatan dan proses perizinan yang terpusat di Jakarta serta etika dan aturan main dalam lingkungan industri internet nasional sendiri.
Bagi ISP mini, pendidikan, RT/RW Net dan warnet di daerah menjalankan skenario ini. Mereka ujung tombak penetrasi dan literasi internet nasional. Perlu langkah deregulasi agresif untuk memutihkan praktik ini. Sangat penting karena internet adalah akselerator pertumbuhan ekonomi dan diseminasi pengetahuan kepada rakyat.
M Salahuddien, praktisi internet di daerah, saat ini bergabung di Yayasan AirPutih
MASALAH mendasar yang dihadapi di daerah adalah keterbatasan infrastruktur, terutama akses internet yang memadai. Ada akses Telkomnet Instan di sekitar 240 kota namun tentu saja ini tidak layak untuk akses massal. Produk ini diposisikan bagi akses personal sehingga kapasitasnya sangat terbatas.
Sedangkan yang dibutuhkan warnet, pemda, dan lembaga pendidikan biasanya adalah akses massal yang memerlukan kapasitas besar. Kalaupun ada koneksi 24 jam dedicated di daerah, umumnya juga terbatas kapasitasnya. Sehingga sering kali tidak mencukupi kebutuhan serta mahal.
Kendala penetrasi internet daerah adalah infrastruktur. Telkomnet ada di semua kota namun tidak memadai untuk akses massal. Sifat layanannya on demand, non-dedicated, kapasitas terbatas, serta time based cost yang menyebabkan akses internet kurang ekonomis.
Fasilitas penting seperti IP Address publik untuk layanan in-house server tidak tersedia. Warnet, pemda, dan pendidikan memerlukan akses dedicated dengan fitur lengkap. Di luar Pulau Jawa, akses seperti ini menjadi mahal dan reliabilitasnya rendah.
Solusi yang tersedia
Koneksi dedicated dari ISP lokal yang terbatas kapasitasnya (melalui Leased Channel, Frame Relay, maupun Wireless LAN), dapat dikombinasi dengan akses internet satu arah via satelit menggunakan teknologi DVB (Digital Video Broadcasting). Solusi ini mereduksi biaya akses internet di daerah dan meningkatkan kapasitas.
Solusi ini membutuhkan peralatan sepasang modem baseband (bekas) seharga Rp 6 juta, Router Cisco 2500 series (bekas) seharga Rp 4 juta, registrasi dan instalasi seharga Rp 2 juta. Biaya investasi mencapai Rp 12 juta. Pilihan lain adalah Wireless LAN point-to-point seharga 900 dollar AS, tower triangle setinggi 32 meter seharga Rp 10 juta. Total investasi mencapai sekitar Rp 18 juta.
Kombinasi ini menghasilkan efisiensi akses karena jalur internasional dan IIX (Indonesia Internet Exchange) dipisah. Bila hanya menggunakan sambungan ke ISP (Internet Service Provider) lokal, saluran itu digunakan untuk upstream/downstream IIX serta upstream/downstream internasional.
Dengan kombinasi downstream DVB, maka efisiensi sambungan ke IIX meningkat dengan alur upstream/downstream IIX, upstream ke internasional, dan downstream internasional sepenuhnya dari DVB.
Karakteristik utilisasi internet Indonesia untuk download dari internasional menunjukkan kalau kebutuhan kapasitas internasional selalu 4 kali lebih banyak dari IIX. Misalnya, downstream internasional DVB 512 kbps, membutuhkan upstream 128 kbps dari ISP lokal sekaligus IIX. Maksimalisasi IIX/lokal, misalnya untuk online games, sementara internasional tidak terganggu.
Sedangkan biaya investasi perangkat DVB One Way terdiri dari antena parabola mesh (Rp 2,5 juta), Low Noise Blocker (LNB) seharga Rp 250.000, komputer refurbish (Router DVB) seharga 2 juta, DVB Card PCI seharga 250 dollar AS. Dengan kapasitas 3 Mbps total investasi yang dibutuhkan bisa mencapai Rp 7 juta.
Solusi daerah
Apabila tidak tersedia akses upstream dedicated dari ISP lokal, maka solusi satu-satunya adalah akses VSAT Two Way. Tentu saja biaya investasi cukup mahal. Solusi paling ekonomis adalah DVB RCS Linkstar. Investasi peralatan VSAT paling rendah mencapai 7.000 dollar AS. Biaya bulanannya 128 kbps upstream dan 512 kbps downstream adalah 1.920 dollar AS.
Namun perlu dicatat, akses DVB RCS ini adalah burstable atau sharing kapasitas dengan pengguna DVB RCS lainnya. Sehingga idealnya perhitungan kapasitas yang bisa diandalkan adalah sekitar 1/2 dari 128/512 kbps tersebut pada saat peak (puncak). Meskipun demikian, Linkstar DVB RCS tetap merupakan pilihan paling rasional untuk daerah yang tidak tersedia infrastruktur akses upstream dedicated sama sekali.
Pilihan lainnya menggunakan teknologi SCPC (Single Carrier Per Channel) DVB upstream/downstream. Harga perangkat lebih mahal (mencapai 20.000 dollar AS) dibanding DVB RCS. Belum lagi biaya bulanannya. Namun, kualitas koneksinya terbaik karena memang ditujukan untuk penggunaan lingkungan perusahaan.
Ada juga SCPC Two Way. Ciri dari penggunaan teknologi ini adalah SCPC upstream/downstream, kanal transponder satelit dedicated, tidak sharing dengan pengguna lain. Remote dan hub dihubungkan modem point-to-point. Perangkatnya mahal (mencapai 30.000 dollar AS) dan biaya bulanan premium. Kualitasnya terbaik, mampu menangani kapasitas asimetrik.
Asumsi biaya
Keputusan Menteri Perhubungan No 5 Tahun 2005 membebaskan penggunaan frekuensi 2,4 GHz untuk digunakan sebagai infrastruktur internet last mile untuk kepentingan umum. Cakupan teknologi 2,4 GHz ini mencapai radius 4-6 km untuk satu BTS (Base Transmission System). Kebutuhan teknologi ini antara lain, satu Access Point seharga 750 dollar AS yang bisa melayani 16-32 buat outstation, satu Omnidirectional Antenna 15 dbi seharga 350 dollar AS, sebuah tower triangle 32 meter seharga Rp 10 juta. Total investasi bisa mencapai Rp 20 juta untuk penggunaan teknologi ini. Sedangkan untuk CPE (Client Premise Equipment) setiap titik outstation harganya bisa mencapai 500 dollar AS.
Sedangkan untuk keperluan investasi kantor dan Network Operation Center (NOC), rinciannya adalah sebagai berikut, PC Server seharga Rp 20 juta, KVM Switch, UPS Server/WLAN seharg Rp 5 juta, Manageable Switch 16/24 port seharg Rp 5 juta, Office Switch dan Workshop Switch seharga Rp 4 juta, stabilizer, grounding, dan surge protector (mencapai Rp 5 juta), Office Desktop dan Workshop seharga Rp 21 juta, Network, WLAN dan Working Tool Kit seharga Rp 5 juta, dua buah AC dan furnitur seharga Rp 10 juta. Total investasi Rp 75 juta.
Biaya produksi dan harga jual layanan kalau diasumsikan kapasitas 128 kbps upstream ke ISP lokal, sekitar Rp 12 juta per bulan. Asumsi kapasitas downstream DVB 512 kbps, sekitar 1.270 dollar AS (Rp 12 juta) per bulan. Biaya registrasi dan deposit untuk 512 kbps downstream, sekitar 900 dollar AS (satu kali). Total biaya akses sekitar Rp 24 juta per bulan.
Untuk biaya operasional dirinci sebagai Manajer (sekitar Rp 2 juta per bulan), Administrasi sekitar Rp 1 juta per bulan, Network Administrator sekitar Rp 1 juta per bulan, dua orang teknisi lapangan sekitar Rp 1,5 juta per bulan, 1 orang Marketing sekitar Rp 1 juta per bulan, listrik, ATK, telepon, dan lain-lain sekitar Rp 1,5 juta per bulan. Total operasional Rp 8 juta per bulan.
Maka total biaya produksi sebuah ISP di daerah adalah sekitar Rp 32 juta per bulan dengan kapasitas terpasang 128 kbps upstream dan 512 kbps downstream.
Proyeksi dari klien warnet, diasumsikan kapasitas 128/512 kbps bisa untuk 128 workstation, kualitas setara dial up (4 kbps). Dapat dibagi ke 8 warnet masing-masing dengan akses 64 kbps/16 unit atau 16 warnet masing-masing 32 kbps/8 unit. Tarif bulanan ISP Rp 3 juta (32 kbps) dan RP 5 juta (64 kbps). Proyeksi pendapatan, 8 warnet x Rp 5 juta = Rp 40 juta atau 16 warnet x Rp 3 juta = Rp 48 juta. Tingkat laba kotor (gross, sebelum pajak dan pengembalian investasi) sekitar Rp 8-16 juta.
Personal dan RT/RW Net dan DESA/KAMPUNG net
Para ISP melakukan rasio akses berdasar idle capacity antar pelanggan. Karakteristik personal adalah on demand, tidak bersamaan dan tidak kontinu. Sehingga bisa dilakukan sharing ratio, idle time/capacity bisa digunakan klien lain.
Idle capacity bisa mencapai 16-32/64-128 kbps. Dialokasikan untuk 8-16 personal. Dilayani menggunakan kabel Ethernet di sekitar lokasi BTS atau akses WLAN. Untuk short range menggunakan antena kaleng homemade, sehingga menekan biaya CPE hingga 200 dollar AS.
Tarif flat akses personal Rp 300.000. Potensi pendapatan 8 x Rp 300.000 = Rp 2,4 juta atau 16 x Rp 300.000 = Rp 4,8 juta. Pelanggan mendapat kualitas setara dial up 24 jam sehari 7 hari seminggu (24/7). Profil pelanggan adalah yang terbiasa dial up di atas 30 jam per bulan dan mampu membeli CPE.
Potensi sejenis personal adalah SOHO (Small Office Home Office). Karakteristik SOHO, peak pada jam kerja, sebaliknya personal peak setelah jam kerja. Potensi rasio time sharing antara SOHO dan personal memungkinkan tambahan pendapatan ISP.
ISP pendidikan
Apabila penyelenggara ISP di daerah ini untuk kepentingan pendidikan/sekolah/kampus, maka asumsi penyelenggara akses tidak mengambil keuntungan, maka setiap sekolah akan menanggung iuran akses internet sebesar Rp 24 juta untuk 16 sekolah atau sama dengan Rp 1,5 juta per bulan.
Akses tersebut bisa dipergunakan untuk 16 sekolah sekaligus. Dengan asumsi penggunaan akses yang tidak excessive, maka tiap sekolah bisa menambah jumlah komputernya dari standar 8 unit PC menjadi 10-12 komputer. Tentu ada pengorbanan kualitas, namun tidak signifikan. Namun harus dilakukan pengaturan melalui proxy (cache engine) dan traffic limiter (QoS) di sisi penyelenggara (Network Operation Center) ISP pendidikan.
Untuk membantu biaya operasional dan maintenance, selain mendapatkan subsidi dari anggaran oleh lembaga pendidikan, jaringan ini bisa dikombinasikan dengan layanan komersial. Kapasitas yang ada juga didistribusikan untuk melayani warnet/SOHO/RT/RW Net di sekitar lokasi.
Kenyataan sangat sulit melakukan perhitungan ekonomi yang sustainable apabila suatu ISP beroperasi berbasis pasar dari dunia pendidikan saja. Tak dapat dihindari apabila ISP pendidikan juga harus punya orientasi komersial demi kelangsungan hidupnya sendiri. Hasil yang diperoleh bisa digunakan sebagai modal pengembangan, karena ISP pendidikan umumnya sulit mendapatkan komitmen investasi ulang.
Dengan mengurangi keuntungan kotor dan operasional maksimal Rp 32 juta per bulan, diperlukan sekitar 50 persen komposisi alokasi kapasitas untuk layanan komersial. Dengan rasio berorientasi kuantitas, dapat dipenuhi standar harga yang dikehendaki pasar pendidikan sekitar Rp 1,5 juta. Angka tersebut adalah maksimal, dalam arti tidak dapat lebih rendah lagi dan jumlah maksimum institusi yang dilayani adalah 16-32 institusi dengan penambahan BTS.
Kendala ISP daerah
Masalah utamanya regulasi. Skenario di atas, melanggar banyak aturan pemerintah. Mulai ketentuan badan hukum penyelenggara jasa internet, legalitas landing right karena mengambil langsung bandwidth internasional, hingga masalah sertifikasi peralatan dan proses perizinan yang terpusat di Jakarta serta etika dan aturan main dalam lingkungan industri internet nasional sendiri.
Bagi ISP mini, pendidikan, RT/RW Net dan warnet di daerah menjalankan skenario ini. Mereka ujung tombak penetrasi dan literasi internet nasional. Perlu langkah deregulasi agresif untuk memutihkan praktik ini. Sangat penting karena internet adalah akselerator pertumbuhan ekonomi dan diseminasi pengetahuan kepada rakyat.
M Salahuddien, praktisi internet di daerah, saat ini bergabung di Yayasan AirPutih
loading...