Batak Writer

The Batak divination book, the so-called pustaha has been known to the western world for at least two hundred years. lts contents were first subjected to systematic study when Van der Tuuk entered the Batak region in 1851. However, we still do not know much about the way these books were produced. This article represents an attempt to reconstruct this process of production on the basis of a study of the literature; some of the writing materials and writing implements involved are also discussed. The Batak are usually divided into six different groups; they are not considered a homogeneous people. One might assume then that the Batak would differ in their way of producing a pustaha. So far not enough evidence has been found to confirm this. Thus in this article I assume a uniform production process, despite the different ethnic backgrounds of the Batak people.

2. What is a pustaha?
There are at least one thousand pustaha in public and private collections. The earliest dated pustaha is found in the British Library (Add. 4726); it was donated in 1764 by Alexander Hall.

Most manuscripts in other Indonesian traditions are of a legal, historical, or literary nature. The pustaha however mainly deal with magie, divination and medicine. Only a few of the books are about historical affairs or legends, and most frequently one recognizes a European in the background of such texts (Voorhoeve 1977:300). Pustaha are compiled by datu (medicine men/priests), who use them mainly as reference works. But they can also serve as books of instruction, copied out by aspiring datu to complement their oral instruction (Braasem 1951:48). That is why the pustaha consist of so many short notes elucidated by magical illustrations and divination tables (porhalaan).

Except for rare copies on paper from the second half of the last century, all pustaha are written on tree bark. The bark is folded concertina fashion and sometimes furnished with boards. What distinguishes the pustaha from other book forms in Asia is that it is written on folded tree bark and that it is extensively illustrated.

The Batak language encompasses several dialects, but the language of the pustaha is, in general, uniform though local differences never disappear completely. This language of instruction, or magical language of education, is called poda (Kozok 1990a: 103). The obscure character of this language makes it extremely difficult to transcribe and translate these manuscripts.

Next

A Malay Cosmonaut

All abuzz over space candidate

KUALA LUMPUR: Dr Sheikh Muszaphar Shukor looks set to be the first Malaysian in space.

Foreign media have been reporting that Dr Sheikh Muszaphar will be the country’s angkasawan as he had been going through final tests with the American astronaut Peggy Whitson and Russian cosmonaut Yuri Malenchenko at the Star City Cosmonaut just outside Moscow since Tuesday.

In fact, the United States National Aeronautical Space Agency (Nasa) had listed Dr Sheikh Muszaphar as a member of the International Space Station Expedition 16 and placed his picture together with the other crew members on its website.

However, sources with the Angkasawan Project said the reason for the foreign media and Nasa naming him as a member of the crew was because Dr Sheikh Muszaphar had always been named as the “primary candidate” and Kapt Dr Faiz Khaleed as the secondary one.

“The two of them had received exactly the same training but like all space missions, there must be a primary candidate and a secondary one,” said one official familiar with the selection process.

“This does not mean that Dr Sheikh is definitely the one to go. The Government still have a few days before making their choice known.”

Prime Minister Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi is expected to announce the successful candidate on Friday.


Mengenal Cagar Alam Dolok Sipirok

Secara administratif kawasan ini terletak di desa Silanggo dan Rambe Sikasor, Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan dan sebagain dalam Kecamatan Pahaejae, Kapupaten Tapanuli Utara.

Untuk menuju kawasan ini dapat ditempuh jalan melalui route : Medan - Tarutung - Sipirok - Ramba Sikasor - 370 Km dengan waktu tempuh 7 jam. Setelah sampai desa terdekat perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki. Kebanyakan mendaki bukit dan turun jurang, karena memiliki topografi bergelombang dan sangat curam.

Kawasan ini ditetapkan sebagai Cagar Alam berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 2669/Kpts/Um/14/1982 dengan luas 6.970 Ha.

FLORA DAN FAUNA

CA Dolok Sipirok terletak tidak jauh dengan CA Dolok Sibual-buali, dengan demikian keduanya memiliki ekosistem hutan yang hampir sama, demikian juga mengenai keadaan topografi, tanah, iklim dan flora faunanya. Diperkirakan pada kawasan hutan ini masih ada jenis Orang Utan (Pongo pygmaeus), informasi terakhir ada penduduk yang menjual satwa tersebut disamping itu pernah ditemukan sarang Orang Utan.

Penelitian keberadaan Orang utan masih dilanjutkan diharapkan hasil penelitian dapat memastikan keberadaan satwa tersebut, sehingga dalam waktu segera dapat direncanakan program lebih lanjut.

Jeruk Makan Jeruk, Alias Batak Makan Batak

Solidaritas sosial merupakan modal utama bagi perantau untuk survive di tegah arus kompetisi individual dan kolektif di dunia yang semakin global ini. Pada tahun 70-an, dikatakan solidaritas sosial antar orang Batak tercipta sebegitu tinggi sehingga orang Batak yang naik angkutan umum biasanya akan gratis karena yang punya angkutan maupun kondekturnya adalah orang Batak.

Namun pandangan itu tidak lagi tampak di era millenium ini. Seiring dengan pesatnya kemajuan zaman dan susahnya mencari penghidupan yang semakin sedikit, banyak orang Batak yang kemudian menjadikan orang Batak lainnya sebagai target operasi dalam upaya untuk survive itu.

Artinya solidaritas sosial yang dulunya sangat dipertahankan tersebut ternyata dapat dikalahkan oleh kejamnya perkembangan zaman. Seorang Batak yang berprofesi sebagai wartawan di sebuah media Ibukota mengatakan bahwa sekarang ini sangat sulit bagi seorang Batak untuk menunjukkan identitasnya bahkan kepada orang Batak sendiri kalau tidak akan mengalami pelecehan dan kekerasan.

Di Pasar Senen misalnya, katanya dia mengalami penipuan dan pemaksaan yang anarkis dari penjual buku bekas yang kebanyakan orang Batak. Kekerasan itu, yang membuatnya terpaksa membeli buku yang ditawar, bahkan terjadi setelah dia memperkenalkan diri sebagai orang Batak dan melakukan komunikasi dengan bahasa Batak.

Sebenantnya Istilah Batak makan Batak tidak hanya ada di Jakarta. Tapi juga di Sumatera Utara sendiri yang nota bene tempat tinggalnya orang Batak. Dulu, bila orang-orang mudik ke kampung halaman dalam pergantian tahun misalnya mereka akan mengalami pemerasan yang tidak bermartabat dari orang Batak sendiri, bisanya orang Simalungun, saat bis yang mereka tumpangi wajib singgah di Terminal Pematang Siantar.

Sebuah bengkel motor milik orang Batak di Kebon Baru dekat Asem Baris yang terletak di simpan sebuah sekolah SMU, misalnya, akan mengenakan harga yang cukup tinggi apabila diketahui pemilik motor adalah orang Batak.

Pemilik bengkel ini adalah orang Batak yang sangat suka menunjukkan kebatakannya tapi siapapun yang mendatangi bengkelnya akan dikerjai dengan harapan mendapat upah yang sangat tinggi. Masyarakat sekitar mengenalnya sebagai bengkel neraka karena kerusakan kecil dapat dimanipulasi menjadi sebuah kerusakan yang menguras uang pemilik bengkel.

Banyak orang BAtak, khususnya mereka-mereka yang menghalalkan segala cara itu, berupaya berlindung di balik tameng keetnisannya untuk merasa bebas melakukan tindakan anarkis. Para kriminal tersebut tidak perduli apakah tindakannya itu malah merusak citra orang Batak sendiri atau bahkan semakin mengucilkan masyarakat Batak pada umumnya dengan stereotipe-stereoripe yang merendahkan.

Toba Helpet Dan Batak Berekor

Dalam sebuah kompetisi sosial, dikenal istilah stereotipe yang mengacu pada panggilan dan sebutan kepada orang luar dengan khusus terhadap etnis tertentu.

Di masyarakat Toba dikenal istilah "Sileban" yang kira-kira menunjukkan arti orang-orang asing. Istilah Sileban biasanya sekarang ini ditujukan kepada orang Jawa maupun orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa.

Tidak dapat diketahui pasti mengapa istilah Sileban itu hanya ditujukan kepada kedua group masyarakat ini. Walau dapat dipastikan hal itu merupakan penyempitan makna karena kebanyakan orang-orang Batak atau Toba menjadikan pulau jawa sebagai target utama tujuan perantauan.

Dalam lagu-lagu Batak modern, seringkali dikisahkan ada seorang wanita yang mengutarakan kesedihannya karena dia telah ditinggalkan pacarnya yang berpaling ke lain hati "boru Sileban". Lagu tersebut secara umum bernada sindiran bagi perantau yang merasa lebih superior dari mereka tidak merantau sehingga dengan tegas dia lebih menyukai mempersunting boru Sunda atau Jawa yang dianggap civilised sehingga melupakan istri maupun pacarnya di kampung.

Lagu-lagu tersebut seakan dapat dibuat permisalan terhadap Yuni Sara, selebritis Sunda yang dinikahi oleh pria Batak.

Walaupun begitu, dalam kamus stereotipe antar Batak sendiri, juga, terdapat kata-katayang mengacu kepada satu sama lain.

Istilah Toba Helpet misalnya seringkali muncul dari budaya Angkola yang menunjukkan superioritas budaya Angkola terhadap Toba. Toba Helpet sering digunakan untuk menunjukkan inferiritas orang-orang Toba di mata orang Angkola.

Diperkirakan istilah ini muncul karena dulunya, orang-orang Toba banyak yang merantau ke Sipirok sebagai pusat ekonomi saat itu, dan banyak mereka yang berprofesi pekerjaan yang dianggap hina oleh masyarakat Angkola setempat, seperti kuli angkut, budak, orang upahan, preman dan lain sebagainya.

Kalau dibuat permisalan, kira-kira Toba Helpet sama posisinya dengan kata Indon, sebuah istilah yang dibuat oleh orang-orang Melayu Malaysia untuk menunjukkan inferioritas TKI Indonesia yang banyak berprofesi rendah dan dianggap kerja di bidang-bidang yang kurang bermartabat seperti pembantu, kuli perkebunan kelapa sawit, penyeludup dan lain sebagainya.

Istilah Batak berekor juga sama tuanya dengan istilah-istilah tersebut di atas. Diperkirakan kata "Batak Berekor" ini dimunculkan oleh orang-orang luar Batak yang ingin menunjukkan bahwa di balik kesahajaan dan keluguan orang Batak selalu ada ambisi (baca: ekor) untuk menguasai orang-orang non-Batak.

Budaya ini dapat dimaklumi karena setiap orang Batak mempunyai kepercayaan diri yang tinggi, karena sikap egaliter yang ditumbuhkan dari adat di setiap orang adalah Raja dalam posisi dan situasi tertentu.

Sipirok Dan Blog Batak

Belakangan ini Sipirok dan Angkola muncul kembali sebagai sebuah identitas yang kuat. Mungkin hal itu disebabkan menguatkan peran Sipirok sebagai pusat kebudayaan Batak yang diperkuat dengan kepindahan ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan ke Sipirok

Angkola sebagai sub-rumpun Batak akhirnya mendapat banyak pengakuan akhir-akhir ini akibat munculnya generasi angkola dalam percaturan peradaban dan budaya Batak. Bila selama ini, budaya angkola selalu tercampur dengan budaya Mandailing yang lebih dulu tampil dengan nuansa kemapanan.

Kini Angkola sebagai sub budaya tampil percaya diri bersama Toba, Karo, Dairi dan Pakpak serta Simalungun dan Karo yang terlebih dahulu banyak ditemukan di Internet.

Warga Angkola sekarang ini banyak menunjukkan jati dirinya dalam tulisan-tulisan di blog. Semoga saja kekayaan khazanah Batak ini dapat memperkaya kebudayaan Indonesia pada umumnya.

Tapanuli: Saatnya Kebhinnekaan Dan Keberagaman Tapanuli Ditegakkan

Jumat, 14 September 2007 03:00 WIB
Keputusan DPR RI Dinilai Sangat Bijak
Sibolga, WASPADA Online

Warga Sibolga dan Tapanuli Tengah menyambut baik dengan keluarnya keputusan DPR RI yang menolak pembentukan Provinsi Tapanuli. Menurut warga keputusan yang diambil itu merupakan keputusan yang sangat bijak dari wakil rakyat.

"Kita sangat menyambut baik keputusan DPR RI yang menolak pembentukan Protap dan keputusan itu merupakan keputusan yang sangat bijak yang diambil wakil rakyat di pusat. Kalau Protap digolkan tentu diperdiksi akan terjadi perpecahan yang sangat luas di Provinsi Sumatera Utara ini," kata tokoh pemuda Sibolga Kusnan Effendi, ST kepada Waspada Kamis (13/9) menanggapi seputar penolakan pembentukan Protap oleh DPR RI.


Menurut Kusnan, dengan penolakan yang dibuat DPR RI maka sudah dapat dipastikan pemerintah pusat sudah membaca situasi dimana apabila wacana pembentukan Protap itu disahkan akan menimbulkan dampak perpecahan di masyarakat. Hal itu dikarenakan wacana pembentukan Protap sampai dengan saat ini tidak murni namun hanya digulirkan segelintir oknum.

Hal senada juga dikatakan putra daerah asli Tapanuli Tengah Dedy Sutomo, SAg yang saat ini menjabat sebagai Ketua Basi'ar (Badan Strategi Amanat Rakyat) Kota Sibolga menyatakan keputusan DPR RI merupakan buah pikir orang-orang intelektual yang ada di DPR RI yang tidak menginginkan perpecahan di tengah-tengah masyarakat Sumatera Utara.

"Kita menilai orang-orang yang menggelindingkan wacana pembentukan Protap hanya memikirkan jabatan padahal pemerintah pusat sudah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada daerah untuk memajukan daerahnya dengan keluarnya otonomi daerah. Buat apa lagi melakukan pemekaran provinsi. Kita bisa lihat sendiri provinsi mana yang setelah dimekarkan bisa maju bahkan hanya mengharapkan DAU (Dana Alokasi Umum) saja yang akhirnya akan membuka peluang korupsi baru,"kata Dedy. Menurutnya, sebaiknya wacana pembentukan Protap setelah ini ditimbun habis .

Parmalim: Diburu Dijaman Belanda, Ditindak Setelah Kemerdekaan

Kisah Para Malim Tanah Batak

Awalnya, Parmalim adalah gerakan spiritual untuk mempertahankan adat istiadat dan kepercayaan kuno yang terancam agama baru yang dibawa Belanda. Gerakan ini lalu menyebar ke tanah Batak menjadi gerakan politik atau parhudamdam yang menyatukan orang Batak menentang Belanda.

Gerakan itu muncul sekitar tahun 1883 atau tujuh tahun sebelum kematian Si Singamangaraja XII, dengan pelopornya Guru Somalaing. Dalam perkembangannya, gerakan yang menempatkan Si Singamangaraja sebagai pemimpin tertinggi tersebut telah memicu perlawanan politik dalam bentuk pertempuran-pertempuran kecil di berbagai kawasan Batak Toba, sekaligus perlawanan teologis terhadap zending. Gerakan ini pun terus melakukan perlawanan pascakematian Si Singamangaraja XII.

Berbagai stigma lalu dilekatkan Belanda kepada pengikut Parmalim untuk mengerem laju gerakan ini, mulai dari sebutan kaum pembangkang, penyembah pagan, hingga pelaku kanibalisme atau pemakan sesama manusia. Para penganut Parmalim diburu. Berbagai upacara keagamaan mereka pun dilarang.

Pada tahun 1895 (tujuh tahun setelah kematian Si Singmangaraja XII), Guru Somalaing ditangkap Belanda dan kemudian dibuang ke Kalimantan pada tahun berikutnya. Gerakan Parmalim pun mulai memudar walau tidak habis. Raja Mulia Naipospos, tokoh spiritual, yang disebut-sebut mendapat restu dari Si Singamangaraja XII, kemudian memegang tongkat kepemimpinan Parmalim.

Gerakan Parmalim pun kembali memusatkan diri pada spiritual dan tata cara hidup berdasarkan adat. Tongkat kepemimpinan ini diwariskan turun-temurun dan kini dipegang oleh Raja Marnakkok Naipospos, cucu Raja Mulia.

Saat ini pusat kegiatan keberagamaan kaum Parmalim dipusatkan di Huta Tinggi, Kecamatan Lagu Boti, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara.

Kata parmalim sendiri bisa dipisahkan dalam dua kata, yaitu par dan malim. Par dalam bahasa Batak Toba merupakan awalan aktif yang berarti orang yang mengerjakan atau menganut sesuatu. Malim sendiri berasal dari kata bahasa masyarakat di pesisir pantai yang beragama Islam, baik Melayu maupun Minangkabau, yang berarti pemuka agama Islam.

Mualim

Asal usul kata malim bagi masyarakat Melayu berasal dari bahasa Arab mualim yang artinya pintar dalam pengetahuan agama. Parmalim juga berkonotasi dengan para malim atau sekumpulan orang yang pengetahuan agamanya luas.

Munculnya kosakata parmalim ditengarai karena adanya interaksi antara Guru Somalaing dengan orang-orang Melayu dan Aceh, yang banyak membantu peperangan Si Singamangaraja XII melawan Belanda.

Parmalim sendiri, menurut Raja Marnakkok Naipospos yang saat ini menjadi Raja Ihutan atau pemimpin tertinggi kaum Parmalim, adalah ajaran tradisional Batak. Sebelum kedatangan agama Islam dan Kristen di tanah Batak, nenek moyang kami telah memiliki ajaran kepercayaan tersendiri. Inti ajaran kami adalah bagaimana bisa mempersembahkan hidup kepada Mula Jadi Nambolon (Tuhan), dan bagaimana cara hidup bermasyarakat dengan baik. Prinsip-prinsip ajaran kami diajarkan oleh Raja Si Singamangaraja, katanya.

Menurut Monang Naipospos, salah seorang tokoh Parmalim yang lain, ciri khas dari kepercayaan Parmalim adalah kearifan lokal mereka dalam menjaga alam. Para pengikut Parmalim dilarang menebang pohon, kecuali menanam tunas baru dengan jumlah lebih banyak. Mereka juga tidak boleh merusak tunas-tunas kecil saat merobohkan pohon besar. Manusia telah diberi hak untuk mengelola alam. Kita telah didukung alam untuk hidup, maka kita juga harus mendukung alam untuk hidup, katanya.

Namun, hingga kini prinsip- prinsip kepercayaan Parmalim sering disalahtafsirkan oleh masyarakat luas. Parmalim masih dianggap sebagai ancaman atas kemapanan. Hingga kini, para pengikut Parmalim belum bisa memperoleh akta catatan sipil sebagaimana warga negara yang lain. Mereka tak mendapatkan akta catatan sipil untuk kelahiran dan pernikahan sehingga kesulitan menyesuaikan diri dengan sistem kemasyarakatan yang ada.

Monang Naipospos mengatakan, upaya diskriminasi terhadap pengikut Parmalim awalnya dilakukan oleh penjajah karena Si Singamangaraja XII melakukan perlawanan terhadap Belanda. Sejak itulah Belanda mendiskreditkan kami dengan citra buruk, termasuk disebutkan kami sebagai orang tidak beradab yang makan manusia. Padahal, makan babi, anjing, atau darah saja dilarang, katanya.

Selama ini kami menjadi warga negara yang terpinggirkan karena hak-hak kami selaku warga negara belum terpenuhi. Pemerintah Kabupaten Tobasa (Toba Samosir) tidak mau memberikan catatan sipil kepada kami, dengan alasan pencatatan terhadap warga penghayat kepercayaan tidak ada dalam perundang-undangan, seakan penghayat kepercayaan di luar bingkai hukum negeri ini. Padahal, golongan Tionghoa sudah bisa mendapatkannya, katanya.

Marnakkok mengatakan, jumlah pengikut Parmalim di Tobasa mencapai 1.500 keluarga atau sekitar 6.000 jiwa. Sebagian besar pengikut Parmalim itu belum mendapat akta catatan sipil. Pengikut Parmalim yang mendapatkan akta kelahiran biasanya harus mencantumkan salah satu dari lima agama yang diakui pemerintah dalam identitas mereka. Kami dikerdilkan sistem yang masih diskriminatif, katanya.

Proses keberagamaan negara ini agaknya memang belum selesai....

It's a TV Show

Every once in a while a unique project crops up that needs to be noticed for both its current relevance and ambition. A Muslim-Canadian sitcom aptly titled Little Mosque on the Prairie is one such effort. It is a bold new television series that has recently gone into production after being commissioned by the Canadian Broadcasting Corporation. This “Little House” is the brainchild of Liverpool-born and Toronto-raised Zarqa Nawaz. The series, if not too restrained, is well positioned to search for and expose the hidden humor produced when the Muslim experience encounters Canadian rural society in the prairie town of Mercy.

One may argue that there is nothing funny about the Muslim-local relationship within the North American landscape after the attack on the Twin Towers on Sept. 11, 2001. But the fact of the matter is that Muslims have been living in the prairies, towns, cities and yes, ghettos, of this continent for over a century now (and longer since the time of slavery). Let us also not forget that the architects of that horrific 9/11 episode do not represent the millions of the followers of the Islamic faith resident either in Canada or the United States. They may have claimed to speak for many but they incorrectly invoke any relationship to the divine.

But getting back to the subject, Muslim comedy in North America is not a widespread or seminal effort. We have had the privilege of seeing the “Allah Made Me Funny” comedy act in action over the years, either when it was fully represented by the Azhar Usman, Preacher Moss and Azeem Muhammad trio, or by viewing some of their separate performances. From that and other experiences, many of us have come to appreciate the need for a little laughter both from within our religion and between Islam and other faiths. “Little Mosque on the Prairie” will in its own way search for humor in both of these realms. But viewers are aware that the task will not be easy. Interfaith laughter still remains a formidable goal.

Zarqa Nawaz has described this television series as first and foremost a sitcom. She adds that this is not a political or religious satire, but is meant to open doors to the lives of people (from the Muslim community) who are trying to assimilate in a small town whose inhabitants have preconceived notions about people who follow the Islamic faith.

The cast includes Arlene Duncan (Fatima), Zaib Shaikh (Amaar), Carlo Rota (Yasir), Manoj Sood (Baber), Sheila McCarthy (Sarah), Derek McGrath (Reverend Magee), Debra McGrath (Mayor Popowicz), Sitara Hewitt (Rayyan) and Neil Crone (Fred). Incorporating strong comedy talent from across faiths, this sitcom aims to relate to people on many levels and will tickle their multi-cultural funny bones and, one hopes, produce some serious laughter.

There is no gainsaying the fact that this “Little Mosque” title in some way came into being after some clever inspiration from the television series The Little House on the Prairie starring Michael Landon, based on books written by Laura Ingalls Wilder, which became one of the most successful shows about North American frontier life for a global audience. It certainly was very popular during the late 70s or the early 80s and had developed quite a following in the Muslim world. Now we can only wait to see how Little Mosque on the Prairie is received.

The need for such an attempt is beyond question, because communication across faiths has become a global necessity. People and cultures are now interacting more closely today then ever before in history. For our collective good, it is time to set conflict aside and learn to laugh together. Who knows, maybe humor is the new frontier that will have to be conquered to open closed lines of communication?

Amazing Brazil

Brazil has around 40 mosques, most of them in the state of São Paulo

The Muslim Beneficent Society inaugurated the first Islamic temple in Brazil in 1955. According to the entity, Muslim immigration to the country gained strength in the second half of the 20th century.

Giuliana Napolitano

São Paulo - Every Friday the streets near the first mosque established in São Paulo (the most industrialized city and in Brazil, and capital of the southeastern state of São Paulo), almost 50 years ago, become packed with cars. The residents and businessmen in the region know it is the Muslims living all over the city coming for their weekly prayers.

The Muslim Beneficent Society (SBM) inaugurated the mosque in 1955. According to the current entity president, Ahmad Aref Abdul Latif, this was also the first Islamic temple in Latin America. Brazil now has around 40 mosques.

Mosques maintain the Islamic tradition among Muslims living in Brazil. One of these traditions is the Friday prayer, at 12 o'clock.

On Friday October 24, around 300 Muslims went to the mosque. Generally, the number is smaller, but this was a special day as it preceded Ramadan. Due to the Ramadan fast, the meal that is always served after the Friday prayers has been cancelled, but it is still necessary to pray.

Catholic immigrants

Brazil currently has the largest Arab community outside the Middle East and Saudi Arabia, estimated at over 10 million people. Immigration began at the end of the 19th century, and consisted mainly of Lebanese and Syrians.

Contrary to what would be expected, though, most Arab immigrants are Christian. According to the president of the Brazilian Superior Council of Islamic Affairs, Moustafa Mourad, the number of Muslims living in Brazil is currently only about 2 million.

Ahmad Latif, of the SBM, says that, in the beginning, Arab immigrants arriving in Brazil were mostly Christian. In the second half of the 20th century, a greater number of Muslims started coming. About half of them established themselves in São Paulo. The state concentrates the largest part of mosques in the country: only in the capital, there are five, and another ten in the countryside and on the coast. In the city of São Paulo, the SBM also maintains a school and an Islamic cemetery.

"Charity work is also one of our tasks, we make donations of clothes and food to the poor", states Latif. "We want to keep the Islamic community united in Brazil", he adds.

Adapting to a minority

Following Muslim traditions in a country that is mostly Christian is not easy. It is similarly not easy to be a Christian in a mostly Islamic nation.

Ramadan is an example. Whereas in Islamic countries restaurants, bars and cafes are closed during the day throughout this 30-day period, and eating, drinking or smoking in public is not allowed, the same does not occur in Christian countries, making the process harder.

Another difficulty is going to the mosque every Friday - a normal working day. The daily prayer ritual may also be a problem depending on the company you work for.

Women also face the common stereotypes. "Being different is never easy", summarizes Hania Souheil Houssami, 28, who was born in Beirut, Lebanon, and came to Brazil at the age of three. "Many people believe that Muslim women are ignorant and submissive. There are a series of stereotypes. We always have to prove them wrong".

Maybe the largest cliché is related to Muslim women working outside the house. According to the Holy Koran, it is the man's responsibility to support the family. Women have to take care of the house and children. This does not mean, though, that women are not allowed to work out of the house and that men cannot help at home.

Before starting to work for one of the largest banks in Brazil, Hania, who graduated as a librarian at one of the most important universities in Latin America, the University of São Paulo (USP), and intends to get a masters degree in the area, says she clearly felt prejudice. "When you go to job interviews, you realize that the interviewer looks at you with different eyes", she says. "But not everyone is like this. In general, I can say that Brazil is a very welcoming country. Most times diversity is respected", she points out.

Proof of this respect is the fact that, before working for the bank, Hania had spent six years working as a librarian at the Albert Einstein Israeli Hospital. It was there, incidentally, that she started using the Muslim veil.

"I remember that when I decided to wear the veil, my boss asked me: 'Will it interfere in your work?' I answered that it would not, and she said there would be no problem", states Hania.

Tourist Destination: Kazan

Leaders of the Islamic world congregated today in Kazan, the capital of Russia's republic of Tatarstan, to attend the official inauguration of the Qol Sharif Mosque, Russia's largest. The ceremony is part of festivities to mark the 1,000th anniversary of the city's founding.

Symbolically, it was in Arabic -- the universal language of Islam -- that Ekmeleddin Ihsanoglu, the Turkish general-secretary of the Organization of the Islamic Conference (OIC), delivered the inaugural speech at the foot of the Qol Sharif mosque:

"In the name of Allah the merciful," Ihsanoglu said. "We address our prayers to Allah, his prophets and all those who believe in him. May his peace and his blessing be on you."

Religious and political leaders from the entire Islamic world were in attendance. Delegates from Central Asia, Azerbaijan, Russia, Saudi Arabia, Kuwait, Iran, Turkey, Egypt, the United Arab Emirates, and even Belarus, joined thousands of believers to perform their Friday prayers after the muezzin's azan, or first call. (Listen to the opening call to prayer. Real Audio, Windows Media)

Located within the Kazan Kremlin walls, Qol Sharif is the most prominent of the city's mosques. It is also Russia's largest. Its construction started nine years ago on the site where the old Qol Sharif mosque stood when the Russians conquered the city in 1552.

The mosque is named after Imam Seid Qol Sharif, who defended Kazan against the Russian Tsar Ivan the Terrible.

But, as Tatarstan's President Mintimer Shaimiev said on 24 June, the new building is meant to represent the multiethnic character of the small central Russian republic.

"The Qol Sharif Mosque stands next to the [Orthodox] Blagoveshchensk Cathedral," Shaimiev said, "and this has a profound meaning which is tied to the aspirations of the multiethnic peoplesof the republic to live in peace and friendship. They stand next to each other as a symbol of mutual understanding between the country's two leading faiths."

Following the Russian conquest of Kazan, the city endured attempts to eliminate Islam. The more liberal policy of Empress Catherine the Great, however, led to a strong Islamic revival starting from the 18th century.
"Today, the entire Islamic world rejoices to see that the Tatar nation, which is the ultimate point of civilization reached by the religion of Islam, has managed to maintain its attachment to Islam and its civilization." - Ihsanoglu

The next blow came in the 20th century, when the Soviet leadership persecuted Muslims and Christians alike. When the Soviet regime collapsed in the early 1990s, there was only one mosque left in Kazan. Today, there are 21.

OIC Secretary-General Ihsanoglu paid tribute on 24 June to the Tatars' ability to maintain their faith throughout history:

Russia -- **Kazan's new mosque (vertical)
(RFE/RL)
"Today, the entire Islamic world rejoices to see that the Tatar nation, which is the ultimate point of civilization reached by the religion of Islam, has managed to maintain its attachment to Islam and its civilization," he said."The religion of Islam is one of the founding elements of its history and culture, and it resisted all attempts made over the past decades to alter its unique character."

Shamiev concurred, describing the white-and blue-tiled Qol Sharif mosque as a "spiritual bridge."

"The Qol Sharif Mosque is not only the main mosque of the republic, it is also a new symbol of Kazan and Tatarstan. It is also a spiritual center for all Tatars. It is a spiritual bridge that connects our past with the future," he said.

Tatar authorities also hope the mosque will prove to be one of Kazan's main attractions, luring tourists from the Islamic world.

The city is expected to welcome tens of thousands of guests when it celebrates the 1,000th anniversary of its founding in August.
922: The generally accepted date when the Volga-region Bulgars adopted Islam.

1005: The generally accepted date of the founding of the city of Kazan, originally a military outpost.

In the 11th and 12th centuries, Kazan was a major trading center along the Volga River and the main city for Bulgar settlers in the region.

1223: Kazan Bulgars beat back the first wave of Mongol invaders.

1236: A Mongol army conquers the Bulgars and captures Kazan.

1361: Emir Bulat-Timur occupies the Bulgar region in a bid to strengthen the hold of the Mongol Golden Horde.

1376:The Bulgar region besieged by forces loyal to Moscow.

1391: First mention of the name of Kazan in Russian chronicles.

1399: Kazan considered one of the three power centers of the Bulgar sultans. Around this time, the city began minting coins and showing other evidence of increasing military and political influence.

1431: Bulgars suffer major military defeats at the hands of forces loyal to Moscow, indicating the beginning of the decline of Bulgar power in the region.

1445: Bulgar Prince Makhmudek defeats Moscow forces and is proclaimed the sovereign of Kazan.

15th and 16th centuries: During this period, the Kazan kremlin (fortress) complex was built up, as was the Kazan citadel within it.

1550: City population reaches about 50,00.

1552: Following a seven-week siege, Kazan falls to an army loyal to Russian Tsar Ivan the Terrible. Control of the region was finally secured in 1557.

Second half of the 16th century: Kazan is gradually Russianized and it is forbidden for Tatars to live within the city.

1556: Construction of the white-stone kremlin begins, replacing earlier wooden fortifications.

17th century: Kazan prospers economically, with the first appearance of manufacturing and the emergence of other nearby towns.

1708: Kazan becomes a gubernia center when Peter the Great institutes a political reform. City population is about 40,000.

1758: Opening of first provincial school for children of nobility. Muslim education system exists despite opposition from Moscow authorities.

1760: An urban-development plan laid out for city streets. About 10 percent of the city population is Tatar.

1771: Two Muslim religious schools opened. A third appeared in 1780.

1774: Kazan suffers heavy damage during a peasant revolt headed by Don Cossack Yemelyan Pugachev. Following the suppression of the revolt by Catherine the Great, she decrees that mosques may be built in the city. Official discrimination against Tatars, however, continues.

1791: First permanent theater opened in Kazan.

1804: First university founded.

1830: City population is 43,000.

1859: Population of Kazan reaches 60,600.

1886: Kazan linked to international telephone lines.

Russia -- Kazan's new mosque 2 (Best)
Kazan's new mosque
(RFE/RL)
1896: Construction completed on Kazan's first bridge across the Volga and the beginning of regular rail transport between Kazan and Moscow.

1897: Kazan is one of the five largest cities in Russia, with a population of 130,000, 22 percent of whom are Tatars. This year also sees the first appearance of gas and electrical streetlights.

1899: First electric tram appears.

1900: Kazan is a major religious center with 88 churches and temples and 13 mosques.

1918: Kazan briefly named capital of the Idel-Ural state during the Russian Civil War. It was also briefly the center of the anti-Bolshevik Bolaq-artee Republic. City population is 206,000.

1919: Kazan made administrative center of the Tatar Autonomous Soviet Socialist Republic. In the following two decades, most of the city's churches and mosques are destroyed.

1926: City population is 179,000.

1939: City population is 398,000.

1941-45: During World War II, many factories from the western part of Russia are evacuated to Kazan and the city becomes a major manufacturing center producing tanks and military aircraft.

1959: City population is 667,000.

1989: City population is 1,094,400.

1991: After the collapse of the Soviet Union, Kazan again becomes a major center of Tatar culture.

2000: Kazan embarks on a major urban renovation, including construction of a subway system.

2002: City population is 1,153,000. Of that, about 42 percent are Tatars and 50 percent are Russians. Just over 1 percent are Chuvash. Nearly one-third of all marriages are between Russians and Tatars.

Information on Kazan's millennium celebration can be found at http://www.kazan1000.ru/eng.

Satellite Launch Deal

Russian firm to sign satellite launch deal with Indonesia

Kuala Lumpur (dpa) - A Russian satellite firm expects to get the go-ahead to use Indonesia's Biak Island as its launch pad next month, a senior executive said on Tuesday.

Air Launch Aerospace Corporation President Anatoly Karpov said that Russia and Indonesia had already finalized a government-to-government agreement on cooperation in exploration of outer space for business purposes and would "initial" the pact next month, paving the way for the use of Biak, in Papua province, as a satellite launch base.


"It is already approved. It will be initialled in January, but the signing will involve a big ceremony with the presidents of the two countries," Karpov said.

"As soon as the agreement is initialled then we've got the permission from our government to go into official partnership with the Indonesian company - PT Alai (Air Launch Aerospace Indonesai) - as a joint venture," Karpov told Deutsche Presse-Agentur dpa, speaking at the sidelines of the 2nd Russia-ASEAN Business Forum being held in Kuala Lumpur.

Plans to use Biak as a Russian satellite launch base have been on and off for years, partly due to the many changes in Indonesian governments.

"Biak is the best place for launching satellites on the equator," said Karpov. Satellite launches are risky business, and east of Blak is several thousand nautical miles of sea in case something goes wrong and the satellite plunges to earth.

The Russian Air Launch Aerospace Corp bills itself as a cheaper alternative for satellite launches, specializing in smaller satellites of up to 4 tons.

"The anticipated average launch rate of small satellites for the next 12 years may exceed 100 launches per year," Karpov told the Russian-ASEAN Business Forum, which drew more than 40 Russian companies and scores of Malaysian firms.

Efforts to boost Russian-ASEAN economic cooperation will be highlight at this year's annual ASEAN Summit, which for the first time will hold an ASEAN-Russian Summit on Tuesday with Russian President Vladimir Putin.

Russian-ASEAN bilateral trade is currently negligible, amounting to 4 billion dollars in 2004.
Selebaran Gelap yang Menghina Warga Pahae

Selebaran Gelap yang Menghina Warga Pahae

Bupati Taput Diminta Selidiki Selebaran Gelap yang Menghina Warga Pahae
Medan (SIB)


Bupati Taput Torang Lumbantobing diminta turut membantu menyelidiki asal-muasal surat gelap, yang beredar saat berlangsung Silaturahmi Akbar Sitompul se-Sumut, Sabtu (1/9), di Gedung Serba Guna Tarutung. Pasalnya, selebaran itu berisi statemen yang nyata-nyata melecehkan dan menghina warga Pahae dan dikait-kaitkan pula dengan bupati.

Hal ini disampaikan beberapa pengurus Marga Sitompul antara lain, Mustofa Sitompul SE, Lamsiang Sitompul SH, Huminsa Sitompul, dan Jumongkas Hutagaol kepada wartawan, Selasa (4/9) di Medan.

“Sebagai orangtua dari seluruh warga Taput, saya kira Torang Lumbantobing tidak akan suka, kalau ada yang melecehkan warganya, apalagi namanya pun dibawa-bawa di dalamnya,” kata Mustofa.

Mustofa sendiri mengaku, bahwa dirinya sudah bisa menerka siapa yang membuat surat gelap tersebut. Karena tiga hari sebelum silaturahmi, dirinya pernah ditelepon seseorang yang terkesan menakut-nakuti, supaya tidak hadir di sana.

“Saya ditelepon seseorang bermarga Sitompul juga. Dia bertanya macam-macam soal rencana silaturahmi, termasuk soal rencana dukungan terhadap calon bupati tertentu. Dia katakan, kalau nanti ada acara mendukung calon bupati tertentu, Torang Lumbantobing akan menghempang dengan massanya,” papar Mustofa.

“Nyatanya seperti kita lihat, acara berlangsung aman dan lancar. Bahkan konvoi warga dari Pahae dikawal oleh petugas Dishub Taput. Jadi bisa kita pastikan, dia orang yang membuat selebaran gelap berusaha membenturkan warga Pahae dengan bupati, dengan maksud yang tidak jelas,” sambung Ketua Litbang Partai Demokrat Sumut ini.

Padahal, katanya lagi, Romiduk Sitompul sebagai sosok yang dikedepankan warga Pahae, pun belum memutuskan, sebagai apa nanti dia dicalonkan. Apakah bupati atau wakil. Yang paling penting, semua pihak harus tahu, bahwa pintu masih terbuka bagi siapa saja untuk dicalonkan warga Pahae atau Marga Sitompul, termasuk untuk Torang Lumbantobing.

“Karena di surat gelap yang menghina warga Pahae itu ada nama Torang Lumbantobing disebut-sebut, maka diharapkan, Torang mewaspadai orang-orang di sekelilingnya, apakah memang untuk mendukung, atau malah ‘menggali kuburan’ untuknya,” imbuhnya.
Hal senada disampaikan Jumongkas yang mengatakan, sungguh perbuatan yang keji, kalau surat gelap itu disebarkan warga Pahae. Apalagi yang dilecehkan adalah seluruh warga Pahae yang terdiri dari berbagai marga dan kebetulan pula sedang menggagas wacana ‘Pahae Bersatu’.

Jumongkas juga menyebut, bahwa yang membuat surat gelap itu bukan siapa-siapa. Dia mengaku bisa menduga, siapa yang melakukannya.

“Selama ini, memang ada oknum terpinggirkan karena sifatnya selalu ingin ditonjol-tonjolkan. Saya sudah kenal dia sejak lama, termasuk sepak terjangnya,” kata Jumongkas.

“Tapi saya kira, apa yang dilakukannya ini sungguh merupakan blunder. Dia mungkin sadar, kalau acara silaturahmi itu sukses, maka kredibilitas dirinya di hadapan orang-orang yang selama ini dia beri ‘bualan’ akan kehebatan dirinya, pasti akan sirna. Sementara di Sitompul sendiri, dia sudah tersisih karena tindakannya yang selalu membawa-bawa nama Sitompul untuk kepentingan pribadi,” katanya.

Sedangkan Lamsiang Sitompul SH meminta kepada oknum penyebar surat gelap itu membaca sejarah. Katanya, bagaimana mungkin dikatakan warga Pahae tidak mampu jadi pemimpin, sedangkan Batak pertama jadi menteri adalah warga Pahae.

“Ir Mananti Sitompul adalah warga Pahae dan dialah orang Batak pertama yang jadi menteri. Tahun 1947 dia adalah Menteri PU-nya Soekarno. Banyak lagi warga Pahae yang sukses dan dengan ‘single fighter’ pula. Kalau ini bersatu, maka yang membuat surat gelap itu, patut menyesalinya seumur hidup,” kata pengacara ini.

Pada kesempatan itu, mereka juga minta Bupati Taput menyelidiki penyebab banjir di Si Atas Barita. Soalnya, kejadian itu disebut-sebut karena ada pekerjaan bangunan dengan menebangi pohon-pohon serta pembuatan kolam asal jadi, sehingga jebol dan merusak rumah-rumah warga.

“Kita tidak ingin ada oknum-oknum mengaku-aku pendukung bupati, hanya karena ingin menyembunyikan boroknya, sehingga bupati turut terkena dampaknya,” kata Jumongkas. Sebagaimana diberitakan, di sela-sela acara ‘Silaturahmi Akbar’ Sitompul di Gedung Serba Guna Tarutung, beredar surat gelap yang berisi pernyataan bahwa warga Pahae tidak ada yang pantas jadi pemimpin.
Sejarah Batubara

Sejarah Batubara

Saturday 01 September 2007
Sejarah Kabupaten Batubara

Wilayah Batubara mulai dihuni penduduk pada tahun 1720 M. Ada lima suku yang mendiami wilayah itu, yakni Lima Laras, Tanah Datar, Pesisir, Lima Pulu dan Boga. Kelima suku tersebut dipimpin seorang datuk yang memiliki wilayah teritorial tertentu.

Batubara masih menjadi bagian dari kerajaan Siak dan Johor. Makanya setiap Datuk Kepala Suku mendapat pengangkatan dan capnya dari Sultan Siak. Untuk mewakili kepentingan kerajaan Siak dan mengepalai para datuk di seluruh Batubara, diangkat seorang bendahara secara turun temurun.

Di bawah bendahara dibentuk dewan yang anggotanya dipilih oleh para Datuk Kepala Suku. Anggota Dewan itu adalah seorang Syahbandar (suku Tanah Datar). Juru Tulis dipilih dari suku Lima Puluh. Mata-mata dipilih dari suku Lima Laras dan Penghulu Batangan dipilih tetap dari suku
Pesisir.

Data di Kerajaan Haru menyebutkan bahwa Batubara salah satu daerah yang wajib menyetor upeti kepada kerajaan ini.

Menurut Schadee, dalam bukunya “Geschiedenis van Sumatra Oostkust”, wilayah Pagurawan dan Tanjong berada langsung dibawah jajahan Datuk Lima Puluh dari Batubara yang kemudian tunduk pula kepada Siak.

Dalam tahun 1885, Pemerintah Hindia Belanda membuat Politic Contract. Perjanjian itu meliputi beberapa kerajaan seperti Langkat, Serdang, Deli, Asahan, Siak, Palalawan (Riau), termasuk juga kerajaan-kerajaan kecil seperti Tanah Karo, Simalungun, Indragiri dan Batubara serta Labuhanbatu.

Pada tahun 1889 Residensi Sumatera Timur terbentuk dengan ibukota di Medan. Residensi itu terdiri dari 5 afdeling (kabupaten-red), yaitu Afdeling Deli yang langsung di bawah Residen Medan, Afdeling Batubara berkedudukan di Labuhan Ruku, Afdeling Asahan berkedudukan di Tanjungbalai, Afdeling Labuhanbatu berkedudukan di Labuhanbatu dan Afdeling Bengkalis berkedudukan di Bengkalis.

Dari itu, tampak nyata bahwa sejak dahulu Batubara, punya afdeling tersendiri. Batubara saat itu, punya 8 landschap (setara dengan kecamatan), yang dipimpin oleh seorang raja.

Ketika Indonesia merdeka, wilayah Batubara berubah statusnya menjadi kewedanaan membawahi lima kecamatan yaitu, Kecamatan Talawi, Tanjungtiram, Lima Puluh, Air Putih dan Medang Deras. Sementara ibukota tetap di Labuhan Ruku.

Setelah masa kepemimpinan kewedanaan berlangsung 4 kali pergantian, nama kewedanaan kemudian dicabut, sehingga yang ada hanya 5 (lima) sektor camat. Lalu digabungkan ke wilayah Asahan, disebut dengan nama Kabupaten Asahan, beribukota di Kisaran.

Hal inilah yang menggugah tokoh, cerdik pandai dan masyarakat untuk kembali memperjuangkan adanya wilayah otonom Batubara. Maka pada tahun 1969, dibentuk Panitia Persiapan Otonomi Batubara (PPOB). Namun perjuangan itu kandas sebelum Kabupaten Batubara yang otonom terbentuk.

Di Era Reformasi, para generasi muda penerus perjuangan Kabupaten Batubara kembali menghimpun perjuangan. Mereka membentuk Badan Pekerja Persiapan Pembentukan Kabupaten Batubara (BP3KB) yang berkedudukan di Kota Medan.

Sejalan dengan itu, di setiap kecamatan berdiri Gerakan Masyarakat Menuju Kabupaten Batubara (Gemkara). Saat ini, Ketua Umum BP3KB-Gemkara dipimpin oleh OK Arya Zulkarnain SH MM.

Akhirnya, ridho Tuhan YME mengabulkan doa perjuangan masyarakat Batubara 8 Desember di gedung Nusantara II DPR RI, Sidang Paripurna, RUU Kabupaten Bataubara disyahkan, bersamaan dengan 15 Kabupaten lainnya. ”Alhamdulillah, akhirnya Kabupaten Batubara terwujud,” syukur OK Arya.

Azhar Efendi >> global | Batubara
RE br Simanjuntak

RE br Simanjuntak

Selasa, 04 September 2007 03:00 WIB
Warga HKBP Unjukrasa
Tarutung, WASPADA Online

Ratusan warga Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Distrik X Medan-Aceh unjukrasa ke Seminarium Sipoholon Tapanuli Utara (Taput), Selasa (4/9), menuntut kasus pelecehan seksual yang dilakukan Praeses Distrik X Medan-Aceh Pdt. M KH S, MTh terhadap calon Pendeta RE br Simanjuntak, S.Th, diproses.

Massa yang terdiri dari kaum bapak, ibu dan pemuda/i itu tiba di Seminarium HKBP Sipoholon sekira pukul 09.45 dengan dua unit kendaraan besar. Setibanya di pintu gerbang Seminarium HKBP, massa langsung dihalau aparat Polres Taput. Pada hari itu, sedang digelar rapat MPS (Majelis Pekerja Sinode) HKBP yang pesertanya para Praeses dan pucuk pimpinan HKBP.

Karena kecewa dihalau aparat, ratusan massa sempat berorasi dan membentangkan spanduk bernada mengecam kepemimpinan Ephorus HKBP Pdt. DR. Bonar Napitupulu yang kurang tanggap terhadap berbagai persoalan yang terjadi di tubuh HKBP termasuk perbuatan amoral yang dilakukan Pendeta HKBP. Sambil menunggu penjelasan polisi, massa menyanyikan lagu-lagu rohani dan berdoa supaya Preses HKBP Distrik X Medan-Aceh mendapat hukuman sesuai perbuatannya.

Atas desakan massa, akhirnya disepakati tiga orang utusan untuk menyampaikan tuntutan secara tertulis. Namun tidak membuahkan hasil karena tidak diterima peserta MPS HKBP. "Ini suatu pelecehan terhadap warga HKBP. Yang kami tuntut keadilan dan kebenaran. Kenapa para pimpinan HKBP tidak meresponnya. Apa memang mereka mau melindungi oknum Praeses yang berbuat amoral," ujar St. SE Manik, Drs. Tigor Silalahi dan St. SK Manurung selaku koordinator massa.

St. SK Manurung menyebut, aspirasi yang mereka sampaikan yaitu persoalan pelecehan seksual yang dilakukan Praeses HKBP Distrik X Medan-Aceh Pdt. M KH S MTh terhadap calon Pendeta RE boru Simanjuntak, S.Th. Bahkan kronologis pelecehan seksual itu, Mei lalu sudah kami sampaikan ke Ephorus HKBP agar diselesaikan dalam waktu 40 hari. Namun pimpinan HKBP sepertinya mem-back up persoalannya supaya tidak terungkap.

Begitu juga dengan penyelewangan dana HKBP yang dikorup, seperti bantuan tsunami miliaran rupiah yang dituntut juga diendapkan aparat hukum. Pemerintah sudah melakukan audit tapi tidak diketahui juntrungannya. Begitu juga bantuan ke PGI Rp14 ribu per gereja Distrik X HKBP Medan-Aceh. Ini lagi pelecehan seksual yang dilakukan seorang pendeta yang seharusnya panutan bagi warga HKBP,’’ ujar St. SK Manurung.

Manurung mengatakan, persoalan pelecehan seksual yang dilakukan Praeses Pdt. M KH S MTh sudah diadukan ke Poltabes MS, 6 Juni 2007 dengan surat tanda bukti lapor No. Pol. LP/207/VI/2007/Tabes diterima Briptu Eva Selly P. “Perbuatan Praeses ini sudah keterlaluan. Dia harus dipecat dari HKBP.Jika perlu, warga HKBP Distrik X Medan-Aceh akan mengangkat Ephorus dan Praeses HKBP barul,’’ tegas St. SK Manurung, emosi.

Pada kesempatan itu, massa membagi-bagikan kronologis pelecehan seksual yang dilakukan Praeses HKBP Distrik Pdt. M KH S MTh. Dengan kesal massa pulang ke Medan tanpa membuahkan hasil. Sementara para Pendeta anggota MPS di Seminarium HKBP Sipoholon masih terus melangsungkan rapat sesuai jadwal yang ditentukan panitia.