Klasifikasi Kasta Sosial Indonesia Kontemporer
Banyak studi sosiologis di Indonesia yang mempelajari mengenai stratifikasi bangsa dan publik di Indonesia.
Ada yang melihatnya dari segi profesi, keimanan, ras, suku dan lain sebagainya. Satu hal yang pasti yang tidak tapat ditemukan di Indonesia adalah klasifikasi sosial yang berbentuk kasta. Suatu klas sosial yang sifatnya statis yang tidak dapat diubah karena klas sosial itu didapat dari kelahiran.
Dari semua klasifikasi itu perlu ditambahkan bahwa Indonesia sebenarnya terdiri dari dua kelas dan kelompok masyarakat. Pertama adalah Kasta Koruptor dan Kasta Apatis.
Sifat dari stratifikasi ini bersifat dinamis artinya mereka yang masuk dalam katagori kelas koruptor bisa saja turun pangkat menjadi kelas apatis, dan begitu juga sebaliknya, yang apatis bisa naik kelas menjadi kelas koruptor.
Klas dan stratifikasi ini tumbuh dan timbul akibat mandeknya usaha-usaha anti korupsi yang bermaksud untuk menghapus dan mengurangi budaya korupsi di Indonesia. Arinya suatu saat dengan prinsip pengharapan yang optimis, kelas-kelas dan stratifikasi ini bisa saja mengelami pergeseran dan bahkan hilang dari peradaban Indonesia.
Kasta Koruptor ini terbagi lagi menjadi beberapa sub kasta yang dibedakan dari segi profesinya. Sub kasta formal yang mencakup pejabat publik dari tingkat pemerintah pusat seperti presiden, menteri, legislatif, yudikatif sampai ke tigkat birokrasi, gubernur, bupati, camat, kepada desa, RT/RW, kepala lingkungan dusun dan lain sebagainya.
Mengapa mereka ini dimasukkan dalam kasta koruptor dan sub kasta formal. Karena mereka-mereka ini biasanya tidak merasa bersalah melakukan tindak korupsi atas nama negara. Nama negara dijual agar tindakan dan perilaku korupsi mereka tampak berhasil dengan baik.
Sub kasta berikutnya adalah Sub kasta non-formal. Mereka ini termasuk pengusaha-pengusaha hitam, konglomerat koruptor, kontaktor-kontraktor nakal, pengusaha penyuap, pelaku monopoli, illegal logging, penyeludup, pengusaha judi dan lain sebagainya. Mereka yang termasuk dalam katagori ini adalah karena mereka melakukan usahanya dengan penyuapan, penggelapan pajak dan manipulasi-manipulasi yang merugikan rakyat. Mereka ini, seperti golongan di atas, merugikan negara dan rakyat tapi motifnya berbeda. Bila yang pertama motifnya adalah menjual nama negara untuk korupsi sementara yang kedua ini, korupsi itu sendiri sudah menjadi perilaku dan perangainya.
Sub kasta yang ketig adalah kasta in-formal alias swadaya masyarakat. Mereka ini terdiri dari pengurus LSM, NGO, median, ornop, ormas, partai, preman, tukang parkir liar, yayasan dan badan-badan yang mengatasnamakan rakyat untuk melakukan tindak-tindak korupsi.
Sementara itu, kasta apatis terbagi lagi menjadi berbagai sub kasta. Pertama adalah mereka yang masuk dalam katagori semi apatis, pesimis dan ultra apatis.
Mereka yang masuk dalam katagori semi apatis adalah kelompok masyarakt yang masih menaruh pengharapan atas berubahnya Indonesia dari masyarakat koruptor menjadi besih tanpa korupsi; sesuatu yang tampak seperti harapan yang utopis.
Mereka bisa saja terdiri dari pejabat publik, pengusaha atau pengurus partai atau LSM yang jujur dalam kehidupan kesehariannya. Namun karena keterbatasan kemampuannya dan jumlah mereka yang sedikit tampaknya keberadaan mereka tidak dapat mempengaruhi kebijakan dan tidak berarti. Mereka tetap optimis Indonesia bakal berubah namun tidak bisa dan tidak mau melakukan hal-hal yang bersifat revolusioner mengubah kondisi yang ada.
Oleh karena itulah, mereka masuk dalam kelompok semi apatis karena mereka masih mempunyai nilai-nilai optimis dalam diri mereka namun tetap membiarkan kondisi yang ada seperti ‘biasanya’.
Masyarakat pesimis adalah masyarakat yang memang sudah pesimis dan tidak mau tahu dengan kondisi negara dan pemerintahan. Di satu pihak mereka ini bisa saja berubah menjadi oposisi yang mengkritisi langsung kebijakan pemerintah, penyimpangan keuangan, perilaku sosial yang korup dan lain sebagainya tapi tidak mempunyai solusi untuk mengatasinya.
Jadi kritisi mereka itu sebenarnya sudah tidak ada gunanya karena toh mereka juga sudah pesimis dan tidak perduli kepada kondisi tersebut.
Katagori yang ketiga adalah, kelompok ultra apatis. Bisanya mereka ini sedikit berlaku ekstrim dengan menjaga jarak dari pemerintahan. Mereka tidak mau mengkritisi pemerintah yang zalim dan korup bahkan menjaga jarak darinya.
Bisanya dalam dunia politik partisipasi mereka sangat minim bahkan tidak. Mereka akan memilih golput, ogah dan tidak mau memperpanjang KTP kecuali terpaksa, tidak mau menegor aparat yang memeras rakyat. Tidak perduli apabila tetangga yang pengusaha ternyata adalah seorang manipulator pajak, tidak perduli kalau birokrasi biasanya akan minta suap dulu kalau tidak urusan akan diperlama dan lain sebagainya.
Dalam pergaulan internasional, mereka ini biasanya malu menjadi warga negara Indonesia, mereka akan mengaku menjadi orang Singapura atau Taiwan atau Malaysia dalam berkenalan. Tapi bukan berarti meraka anasionalis, karena toh mereka tetap mau tinggal di Indonesia.
Kalau ada pilihan untuk pindah warga negara, mereka akan memilih untuk kabur dan pindah warga negara. Kalau ada tawaran kerja di luar negeri mereka akan memilih hengkang ke luar negeri. Mereka ini adalah korban dari ketidak adilan sosial dan kebobrokan budaya dan peradaban Indonesian yang semakin korup. Lalu kasta apakah anda?????
Banyak studi sosiologis di Indonesia yang mempelajari mengenai stratifikasi bangsa dan publik di Indonesia.
Ada yang melihatnya dari segi profesi, keimanan, ras, suku dan lain sebagainya. Satu hal yang pasti yang tidak tapat ditemukan di Indonesia adalah klasifikasi sosial yang berbentuk kasta. Suatu klas sosial yang sifatnya statis yang tidak dapat diubah karena klas sosial itu didapat dari kelahiran.
Dari semua klasifikasi itu perlu ditambahkan bahwa Indonesia sebenarnya terdiri dari dua kelas dan kelompok masyarakat. Pertama adalah Kasta Koruptor dan Kasta Apatis.
Sifat dari stratifikasi ini bersifat dinamis artinya mereka yang masuk dalam katagori kelas koruptor bisa saja turun pangkat menjadi kelas apatis, dan begitu juga sebaliknya, yang apatis bisa naik kelas menjadi kelas koruptor.
Klas dan stratifikasi ini tumbuh dan timbul akibat mandeknya usaha-usaha anti korupsi yang bermaksud untuk menghapus dan mengurangi budaya korupsi di Indonesia. Arinya suatu saat dengan prinsip pengharapan yang optimis, kelas-kelas dan stratifikasi ini bisa saja mengelami pergeseran dan bahkan hilang dari peradaban Indonesia.
Kasta Koruptor ini terbagi lagi menjadi beberapa sub kasta yang dibedakan dari segi profesinya. Sub kasta formal yang mencakup pejabat publik dari tingkat pemerintah pusat seperti presiden, menteri, legislatif, yudikatif sampai ke tigkat birokrasi, gubernur, bupati, camat, kepada desa, RT/RW, kepala lingkungan dusun dan lain sebagainya.
Mengapa mereka ini dimasukkan dalam kasta koruptor dan sub kasta formal. Karena mereka-mereka ini biasanya tidak merasa bersalah melakukan tindak korupsi atas nama negara. Nama negara dijual agar tindakan dan perilaku korupsi mereka tampak berhasil dengan baik.
Sub kasta berikutnya adalah Sub kasta non-formal. Mereka ini termasuk pengusaha-pengusaha hitam, konglomerat koruptor, kontaktor-kontraktor nakal, pengusaha penyuap, pelaku monopoli, illegal logging, penyeludup, pengusaha judi dan lain sebagainya. Mereka yang termasuk dalam katagori ini adalah karena mereka melakukan usahanya dengan penyuapan, penggelapan pajak dan manipulasi-manipulasi yang merugikan rakyat. Mereka ini, seperti golongan di atas, merugikan negara dan rakyat tapi motifnya berbeda. Bila yang pertama motifnya adalah menjual nama negara untuk korupsi sementara yang kedua ini, korupsi itu sendiri sudah menjadi perilaku dan perangainya.
Sub kasta yang ketig adalah kasta in-formal alias swadaya masyarakat. Mereka ini terdiri dari pengurus LSM, NGO, median, ornop, ormas, partai, preman, tukang parkir liar, yayasan dan badan-badan yang mengatasnamakan rakyat untuk melakukan tindak-tindak korupsi.
Sementara itu, kasta apatis terbagi lagi menjadi berbagai sub kasta. Pertama adalah mereka yang masuk dalam katagori semi apatis, pesimis dan ultra apatis.
Mereka yang masuk dalam katagori semi apatis adalah kelompok masyarakt yang masih menaruh pengharapan atas berubahnya Indonesia dari masyarakat koruptor menjadi besih tanpa korupsi; sesuatu yang tampak seperti harapan yang utopis.
Mereka bisa saja terdiri dari pejabat publik, pengusaha atau pengurus partai atau LSM yang jujur dalam kehidupan kesehariannya. Namun karena keterbatasan kemampuannya dan jumlah mereka yang sedikit tampaknya keberadaan mereka tidak dapat mempengaruhi kebijakan dan tidak berarti. Mereka tetap optimis Indonesia bakal berubah namun tidak bisa dan tidak mau melakukan hal-hal yang bersifat revolusioner mengubah kondisi yang ada.
Oleh karena itulah, mereka masuk dalam kelompok semi apatis karena mereka masih mempunyai nilai-nilai optimis dalam diri mereka namun tetap membiarkan kondisi yang ada seperti ‘biasanya’.
Masyarakat pesimis adalah masyarakat yang memang sudah pesimis dan tidak mau tahu dengan kondisi negara dan pemerintahan. Di satu pihak mereka ini bisa saja berubah menjadi oposisi yang mengkritisi langsung kebijakan pemerintah, penyimpangan keuangan, perilaku sosial yang korup dan lain sebagainya tapi tidak mempunyai solusi untuk mengatasinya.
Jadi kritisi mereka itu sebenarnya sudah tidak ada gunanya karena toh mereka juga sudah pesimis dan tidak perduli kepada kondisi tersebut.
Katagori yang ketiga adalah, kelompok ultra apatis. Bisanya mereka ini sedikit berlaku ekstrim dengan menjaga jarak dari pemerintahan. Mereka tidak mau mengkritisi pemerintah yang zalim dan korup bahkan menjaga jarak darinya.
Bisanya dalam dunia politik partisipasi mereka sangat minim bahkan tidak. Mereka akan memilih golput, ogah dan tidak mau memperpanjang KTP kecuali terpaksa, tidak mau menegor aparat yang memeras rakyat. Tidak perduli apabila tetangga yang pengusaha ternyata adalah seorang manipulator pajak, tidak perduli kalau birokrasi biasanya akan minta suap dulu kalau tidak urusan akan diperlama dan lain sebagainya.
Dalam pergaulan internasional, mereka ini biasanya malu menjadi warga negara Indonesia, mereka akan mengaku menjadi orang Singapura atau Taiwan atau Malaysia dalam berkenalan. Tapi bukan berarti meraka anasionalis, karena toh mereka tetap mau tinggal di Indonesia.
Kalau ada pilihan untuk pindah warga negara, mereka akan memilih untuk kabur dan pindah warga negara. Kalau ada tawaran kerja di luar negeri mereka akan memilih hengkang ke luar negeri. Mereka ini adalah korban dari ketidak adilan sosial dan kebobrokan budaya dan peradaban Indonesian yang semakin korup. Lalu kasta apakah anda?????
loading...