Korupsi Timbulkan Apatisme: Kehancuran Partisipasi Politik
Mungkin tidak banyak yang menyadari bahwa korupsi dalam arti yang luas ternyata dapat merusak tatanan hidup bangsa, khususnya partisipasi politik segenap warga yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan peradaban bangsa di Indonesia ini.
Praktek suap, sogok, mark up dan lain sebagainya yang sejenisnya dianggap hanya hal biasanya karena toh yang dirugikan adalah negara. Maka tidak heran para pemimpin bangsa, mulai dari pejabat tingkat lokal, RT/RT, desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten, propinsi dan pusat ramai-ramai mempraktekkan praktek ini karena merasa sudah ‘bagian’ dari pekerjaannya. Bagi mereka, korupsi yang dilakukan tersebut hanya menggerus sedikit uang negara, walau tanpa disadari, praktek massal itu secara kuantitas menggerogoti dana negara yang membuat negara seperti orang sakit yang ogah berfungsi dengan baik.
Padahal tanpa disadari korupsi tidak saja menggerogoti keuangan negara, tapi juga menimpulkan apatisme sosial yang mengarah kepada lemahnya pastisipasi publik dan rakyat dalam pembangunan negara.
Rakyat menjadi apatis dan mereka menjadi tidak berusaha untuk memperbaiki kondisi negara apabila permasalahan-permasalahan yang membelit negara tersebut belum berdampak langsung kepada kehidupan dan masalah-masalah pribadi mereka.
Baru ketika masalah itu menghampiri mereka, barulah mereka terpikir untuk melakukan tindakan mempertahankan diri. Sesuatu yang sudah terlambat karena sebelumnya mereka mempunyai kesempatan untuk mencegahnya.
Sebut misalnya penyelewengan Bantuan Langsung Tunai yang merupakan hal baru dalam sejarah Indonesia yang diperkenalkan oleh SBY sebagai bagian dari program-program pengentasan kemiskinan yang dianut pemerintahannya.
BLT ini diambil sebagai contoh karena proyek-proyek lain yang sarat dengan korupsi sudah begitu berlumuran dan berdarah-darah korupsinya sehingga sulit untuk membaha nilai-nilai korupsinya seperti pembagian beras miskin, pengurusan KTP yang perlu suap, STNK dan lain sebagainya.
Di berbagai tempat, baik itu di pedesaan maupun perkotaan, sensus penduduk miskin yang berhak mendapat bantuan BLT tersebut sarat dengan manipulasi. Manipulasi-manipulasi tersebut bahkan dilakukan terang-terangan oleh oknum-oknum RT/RW pedesaan dan petugas sensus yang ditunjuk.
Dalam melakukan sensus, masyarakat bahkan menyaksikan langsung betapa sebuah keluarga yang dianggap mampu dicatat dan direkomendasikan oleh aparat RT atau pedesaan untuk mendapat jatah BLT, hanya karena yang bersangkutan merupakan sanak famili mereka atau pendukung utama mereka dalam pemilihan ketua RT dan kepala desa.
Tanpa maksud men-generalisir, sebenarnya kaki tangan koruptor paling bawah atau pada tingkat level terbawah adalah ketua RT, RW dan Kepala Desa dengan berbagai pembantunya yang merasa tidak mempunyai kewajiban untuk menaati hukum yang berlaku.
Mereka ini bersembunyi di balik kelemahan instansi penegak hukum maupun media yang menganggap bahwa segala penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat terbawah dan bersentuhan langsung dengan masyarakat tersebut nilainya sangat kecil dan tidak layak berita.
Namun, secara total apa yang terjadi bila semua penyelewengan pejabat rendah itu secara nasional? Berapa milyar, berapa trilyun kan kerugian negara???
Akibatnya adalah masyarakat menjadi apatis. Mereka tidak perduli lagi dan tidak mau tahu dengan sepak terjang para pejabat tersebut. Toh juga dewan keluharan atau desa juga tidak berfungsi dengan baik karena semuanya mendapat ‘siraman atau bagi hasil’ dari oknum-oknum tersebut.
Alih-alih bersuara vokal, seseorang atau sebuah keluarga akan mudah diisolasi atau diacuhkan oleh warga yang terprovokasi dengan serangan balik sang ketua RT atau oknum lainnya.
Dalam sebuah sensus orang miskin pengguna kompor minyak tanah misalnya di Parung. Banyak masyarakat yang menutup pintu dari petugas sensus dalam rangka program pertukaran gratis kompor minyak tanah dengan gas.
Alasan mereka adalah percuma saja disensus toh pada saatnya pembagian tiba, nama-nama mereka yang berhak tersebut tidak tercantum di papan pengumuman dan justru semuanya diborong oleh okum-oknum tersebut yang entah dikemanakan. Katanya, ada yang dibagikan kepada famili-famili dan pendukungnya dan banyak juga yang dijual kembali ke toko-toko.
Dalam kasus lain, petugas-petugas pembagi meminta ‘uang lelah’ dalam kisaran Rp. 20.000 ke atas yang tentunya sangat memberatkan penerimanya. Walau ada juga yang bersedia membayarnya akibat keluguan, ketidaktahuan maupun apatisme yang mengental.
Jadi nama-nama mereka yang disensus itu hanya sebagai korban belaka. Nama mereka dijual kepada pemerintah agar daerah tersebut mendapat jatah yang tinggi dan para oknum tersebut mempunyai stok yang banyak untuk dikomersilkan kembali.
Banyak contoh lain dalam korupsi massal di Indonesia yang sangat berpengaruh dalam apatisme publik atas kinerja pemerintahan yang sangat krusial dalam memperparah keemohan publik dalam berpartisipasi memperbaiki kondisi negara yang semakin hancur diterjang wabah korupsi ini.
Kesimpulan dari tulisan singkat ini adalah:
Pertama, koruptor dan jabatan paling rentan dengan korupsi yang berhubungan langsung adalah Ketua RT/RW dan Kepala Desa yang karena posisinya di bawah sering kali luput dari perhatian media dan pemerhati anti korupsi di Indonesia.
Selain itu tentunya adalah kantor-kantor publik maupun lembaga-lembaga yang berhubungan langsung dengan masyarakat seperti pengurusan-pengurusan ijin maupun surat-surat seperti STNK, SIM, Akte kelahiran, kartu kuning, ijazah, kartu gakin, ijin usaha, pajak, ijin nikah di KUA, paspor, ijin tinggal dan lain sebagainya.
Kedua adalah, perlu ada usaha yang maksimal untuk mengontrol jabatan-jabatan publik yang berhubungan langsung dengan hajat hidup orang banyak tersebut. Dalam kasus RT/RW dan kepala desa, audit langsung dari pusat dan pihak-pihak anti-korupsi harus dilakukan secara berkala.
Walaupun dalam tingkat paling rendah telah ada dewan kelurahan atau dewan musyawarah desa yang mengontrol atau berfungsi sebagai check dan balance, ternyata hal itu tidak berfungsi dengan baik.
Setiap tahun, seharusnya kinerja mereka-mereka yang menduduki jabatan yang berhubungan langsung dengan masyarakat itu harus diperiksa dan diaudit. Karena dalam berbagai kasus, banyak penyelewengan-penyelewengan yang terjadi yang berakibat kepada maraknya tindak korupsi.
Penyelewengan itu antara lain, rangkap jabatan. Ada PNS atau birokrat yang rangkap menjadi ketua RT/RW maupun kepada desa, yang tentunya yang bersangkutan sudah tidak mempunyai waktu dan kapasitas untuk melakukan tugasnya.
Di daerah pedesaan, pihak-pihak kantor desa bahkan mengklaim begitu saja tanah-tanah negara dan dijadikan menjadi hak milik. Pihak desa yang diharapkan dapat mempermudah urusan masyarakat, malah berfungsi sebagai tembok penghalang terbentuknya masyarakat yang maju, makmur dan sejahtera.
Alih-alih jadi pemimpin rakyat di daerah terisolir, banyak dari mereka yang berubah menjadi diktator-diktator mini, pemeras uang rakyat melalui peraturan-peraturan desa yang mencekik, perampok tanah negara dan manipulator-manipulator ijin yang dieksploitasi oleh pengusaha-pengusaha hitam yang tidak perduli dengan kondisi dan kehancuran negara.
Departemen Dalam Negeri sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam membina dan mendidik para aparat desa tersebut seharusnya tidak boleh tinggal diam dan berpangku tangan menyaksikan berbagai penyelewengan ini terjadi. Sebelum terjadi kerusuhan dan konflik, depdagri harus mengambil langkah-langkah untuk meluruskan dan memperbaiki sesuai dengan rel-rel yang ditentukan.
Lumayan, apabila rakyat melakukan perlawanan terhadap arogansi para ‘peman-preman’ negara ini. Apa yang terjadi apabila mereka malah tidak perduli dan berusaha untuk menjaga jarak dari urusan desa dan daerah mereka tinggal. Bagaimana jika mereka malah apatis dan berusaha untuk tidak terlibat dengan partisipasi politik yang sangat berguna untuk memperbaiki negara, bangsa dan masyarakt ini.
Bagaimana jika tidak perduli lagi dengan itu semua, emangnya gue pikirin. Bila sudah begini bagaimana jadinya bentuk republik ini???? Apaka jadinya sebuah negara bila terdiri dari masyarakat aparat dan masyarakat rakyat yang hidupnya terpisah?? Apakah hal ini layak disebut sebagai bangsa. Saat masyarakt terbagi menjadi dua bagia. Yang pertama aparat yang hidupnya korup dan merasa ‘berpaha’ untuk korupsi dan memeras rakyat yang tidak perduli apakah negara ini bakal ambruk atau hancur dan di pihak lain ada masyarakat yang bukan aparat yang hidupnya apatis dan pesimis dan tidak perduli apakah bangsa dan negara ini mau maju atau tidak.
Mungkin tidak banyak yang menyadari bahwa korupsi dalam arti yang luas ternyata dapat merusak tatanan hidup bangsa, khususnya partisipasi politik segenap warga yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan peradaban bangsa di Indonesia ini.
Praktek suap, sogok, mark up dan lain sebagainya yang sejenisnya dianggap hanya hal biasanya karena toh yang dirugikan adalah negara. Maka tidak heran para pemimpin bangsa, mulai dari pejabat tingkat lokal, RT/RT, desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten, propinsi dan pusat ramai-ramai mempraktekkan praktek ini karena merasa sudah ‘bagian’ dari pekerjaannya. Bagi mereka, korupsi yang dilakukan tersebut hanya menggerus sedikit uang negara, walau tanpa disadari, praktek massal itu secara kuantitas menggerogoti dana negara yang membuat negara seperti orang sakit yang ogah berfungsi dengan baik.
Padahal tanpa disadari korupsi tidak saja menggerogoti keuangan negara, tapi juga menimpulkan apatisme sosial yang mengarah kepada lemahnya pastisipasi publik dan rakyat dalam pembangunan negara.
Rakyat menjadi apatis dan mereka menjadi tidak berusaha untuk memperbaiki kondisi negara apabila permasalahan-permasalahan yang membelit negara tersebut belum berdampak langsung kepada kehidupan dan masalah-masalah pribadi mereka.
Baru ketika masalah itu menghampiri mereka, barulah mereka terpikir untuk melakukan tindakan mempertahankan diri. Sesuatu yang sudah terlambat karena sebelumnya mereka mempunyai kesempatan untuk mencegahnya.
Sebut misalnya penyelewengan Bantuan Langsung Tunai yang merupakan hal baru dalam sejarah Indonesia yang diperkenalkan oleh SBY sebagai bagian dari program-program pengentasan kemiskinan yang dianut pemerintahannya.
BLT ini diambil sebagai contoh karena proyek-proyek lain yang sarat dengan korupsi sudah begitu berlumuran dan berdarah-darah korupsinya sehingga sulit untuk membaha nilai-nilai korupsinya seperti pembagian beras miskin, pengurusan KTP yang perlu suap, STNK dan lain sebagainya.
Di berbagai tempat, baik itu di pedesaan maupun perkotaan, sensus penduduk miskin yang berhak mendapat bantuan BLT tersebut sarat dengan manipulasi. Manipulasi-manipulasi tersebut bahkan dilakukan terang-terangan oleh oknum-oknum RT/RW pedesaan dan petugas sensus yang ditunjuk.
Dalam melakukan sensus, masyarakat bahkan menyaksikan langsung betapa sebuah keluarga yang dianggap mampu dicatat dan direkomendasikan oleh aparat RT atau pedesaan untuk mendapat jatah BLT, hanya karena yang bersangkutan merupakan sanak famili mereka atau pendukung utama mereka dalam pemilihan ketua RT dan kepala desa.
Tanpa maksud men-generalisir, sebenarnya kaki tangan koruptor paling bawah atau pada tingkat level terbawah adalah ketua RT, RW dan Kepala Desa dengan berbagai pembantunya yang merasa tidak mempunyai kewajiban untuk menaati hukum yang berlaku.
Mereka ini bersembunyi di balik kelemahan instansi penegak hukum maupun media yang menganggap bahwa segala penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat terbawah dan bersentuhan langsung dengan masyarakat tersebut nilainya sangat kecil dan tidak layak berita.
Namun, secara total apa yang terjadi bila semua penyelewengan pejabat rendah itu secara nasional? Berapa milyar, berapa trilyun kan kerugian negara???
Akibatnya adalah masyarakat menjadi apatis. Mereka tidak perduli lagi dan tidak mau tahu dengan sepak terjang para pejabat tersebut. Toh juga dewan keluharan atau desa juga tidak berfungsi dengan baik karena semuanya mendapat ‘siraman atau bagi hasil’ dari oknum-oknum tersebut.
Alih-alih bersuara vokal, seseorang atau sebuah keluarga akan mudah diisolasi atau diacuhkan oleh warga yang terprovokasi dengan serangan balik sang ketua RT atau oknum lainnya.
Dalam sebuah sensus orang miskin pengguna kompor minyak tanah misalnya di Parung. Banyak masyarakat yang menutup pintu dari petugas sensus dalam rangka program pertukaran gratis kompor minyak tanah dengan gas.
Alasan mereka adalah percuma saja disensus toh pada saatnya pembagian tiba, nama-nama mereka yang berhak tersebut tidak tercantum di papan pengumuman dan justru semuanya diborong oleh okum-oknum tersebut yang entah dikemanakan. Katanya, ada yang dibagikan kepada famili-famili dan pendukungnya dan banyak juga yang dijual kembali ke toko-toko.
Dalam kasus lain, petugas-petugas pembagi meminta ‘uang lelah’ dalam kisaran Rp. 20.000 ke atas yang tentunya sangat memberatkan penerimanya. Walau ada juga yang bersedia membayarnya akibat keluguan, ketidaktahuan maupun apatisme yang mengental.
Jadi nama-nama mereka yang disensus itu hanya sebagai korban belaka. Nama mereka dijual kepada pemerintah agar daerah tersebut mendapat jatah yang tinggi dan para oknum tersebut mempunyai stok yang banyak untuk dikomersilkan kembali.
Banyak contoh lain dalam korupsi massal di Indonesia yang sangat berpengaruh dalam apatisme publik atas kinerja pemerintahan yang sangat krusial dalam memperparah keemohan publik dalam berpartisipasi memperbaiki kondisi negara yang semakin hancur diterjang wabah korupsi ini.
Kesimpulan dari tulisan singkat ini adalah:
Pertama, koruptor dan jabatan paling rentan dengan korupsi yang berhubungan langsung adalah Ketua RT/RW dan Kepala Desa yang karena posisinya di bawah sering kali luput dari perhatian media dan pemerhati anti korupsi di Indonesia.
Selain itu tentunya adalah kantor-kantor publik maupun lembaga-lembaga yang berhubungan langsung dengan masyarakat seperti pengurusan-pengurusan ijin maupun surat-surat seperti STNK, SIM, Akte kelahiran, kartu kuning, ijazah, kartu gakin, ijin usaha, pajak, ijin nikah di KUA, paspor, ijin tinggal dan lain sebagainya.
Kedua adalah, perlu ada usaha yang maksimal untuk mengontrol jabatan-jabatan publik yang berhubungan langsung dengan hajat hidup orang banyak tersebut. Dalam kasus RT/RW dan kepala desa, audit langsung dari pusat dan pihak-pihak anti-korupsi harus dilakukan secara berkala.
Walaupun dalam tingkat paling rendah telah ada dewan kelurahan atau dewan musyawarah desa yang mengontrol atau berfungsi sebagai check dan balance, ternyata hal itu tidak berfungsi dengan baik.
Setiap tahun, seharusnya kinerja mereka-mereka yang menduduki jabatan yang berhubungan langsung dengan masyarakat itu harus diperiksa dan diaudit. Karena dalam berbagai kasus, banyak penyelewengan-penyelewengan yang terjadi yang berakibat kepada maraknya tindak korupsi.
Penyelewengan itu antara lain, rangkap jabatan. Ada PNS atau birokrat yang rangkap menjadi ketua RT/RW maupun kepada desa, yang tentunya yang bersangkutan sudah tidak mempunyai waktu dan kapasitas untuk melakukan tugasnya.
Di daerah pedesaan, pihak-pihak kantor desa bahkan mengklaim begitu saja tanah-tanah negara dan dijadikan menjadi hak milik. Pihak desa yang diharapkan dapat mempermudah urusan masyarakat, malah berfungsi sebagai tembok penghalang terbentuknya masyarakat yang maju, makmur dan sejahtera.
Alih-alih jadi pemimpin rakyat di daerah terisolir, banyak dari mereka yang berubah menjadi diktator-diktator mini, pemeras uang rakyat melalui peraturan-peraturan desa yang mencekik, perampok tanah negara dan manipulator-manipulator ijin yang dieksploitasi oleh pengusaha-pengusaha hitam yang tidak perduli dengan kondisi dan kehancuran negara.
Departemen Dalam Negeri sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam membina dan mendidik para aparat desa tersebut seharusnya tidak boleh tinggal diam dan berpangku tangan menyaksikan berbagai penyelewengan ini terjadi. Sebelum terjadi kerusuhan dan konflik, depdagri harus mengambil langkah-langkah untuk meluruskan dan memperbaiki sesuai dengan rel-rel yang ditentukan.
Lumayan, apabila rakyat melakukan perlawanan terhadap arogansi para ‘peman-preman’ negara ini. Apa yang terjadi apabila mereka malah tidak perduli dan berusaha untuk menjaga jarak dari urusan desa dan daerah mereka tinggal. Bagaimana jika mereka malah apatis dan berusaha untuk tidak terlibat dengan partisipasi politik yang sangat berguna untuk memperbaiki negara, bangsa dan masyarakt ini.
Bagaimana jika tidak perduli lagi dengan itu semua, emangnya gue pikirin. Bila sudah begini bagaimana jadinya bentuk republik ini???? Apaka jadinya sebuah negara bila terdiri dari masyarakat aparat dan masyarakat rakyat yang hidupnya terpisah?? Apakah hal ini layak disebut sebagai bangsa. Saat masyarakt terbagi menjadi dua bagia. Yang pertama aparat yang hidupnya korup dan merasa ‘berpaha’ untuk korupsi dan memeras rakyat yang tidak perduli apakah negara ini bakal ambruk atau hancur dan di pihak lain ada masyarakat yang bukan aparat yang hidupnya apatis dan pesimis dan tidak perduli apakah bangsa dan negara ini mau maju atau tidak.
loading...