Korupsi: Deviasi Sosial, Patologi, Budaya atau Tren????
Secara umum, sekarang ini, sulit untuk membahas apakah fenomena korupsi di Indonesia ini adalah sebuah penyimpangan, penyakit atau tren sosial.
Kalau itu disebut sebagai penyimpangan maka suatu saat kelak hal itu bisa diluruskan. Bila itu disebut penyakit sosial maka suatu saat penyakit itu dapat diobati dan bila itu disebut tren maka suatu saat tren tersebut akan berubah dan berganti dengan tren yang lain. Kita hanya butuh terapi sosial atau tindakan rekayasa sosial untuk mengobati itu semua. Separah apapun penyakit selalu ada obatnya.
Namun apa yang terjadi bila korupsi dalam arti yang luas seperti KKN, abuse of power, penyelewengan jabatan dan penyalahgunaan posisi menjadi budaya.
Apakah ada sesuatu yang bisa mengubah budaya. Ada. Namun sangat susah dan memakan waktu untuk mengubahnya.
Lihat misalnya, jika anda seorang PNS dan hidup pas-pasan sesuai dengan gaji yang diterima dan tidak mau menerima masukan dan suap-supa lainnya itu maka anda akan ditertawai oleh sesama PNS.
Yah, seorang PNS yang sukses menurut ukuran orang kebanyakan adalah mereka yang mampu membeli dan hidup royal, memiliki harta melimpah, dihormati masyarakat karena sering bagi-bagi duit dan lain sebagainya.
Seorang pejabat yang tidak mau ‘mengatur’ sesuai permintaan konglomerat akan dimutasi karena tidak bisa diajak kerja sama. Padahal dia melaksanakan tugasnya dengan baik. Tidak mau kongkalingkong dan lain sebagainya.
Banyak orang yang berusaha mengobati, meluruskan dan mengubah kebiasaan korupsi. Namun semua itu menjadi bahan tertawaan saja. Dia akan ditinggalkan dan dijauhi orang-orang dekatnya.
Di Indonesia dengan budaya instan yang akut, melakukan tindak korupsi sesuai denga pekerjaan kita dalah wajar. Seorang yang mau mengurus KTP dikatakan wajar apabila menyuap. Lurah yang minta suap dikatakan wajar. PNS imigrasi yang minta suap saat pengurusan paspor katanya adalah lumrah.
Penduduk liar yang menyogok aparat agar mereka tetap bisa tinggal dan membangun di tanah orang, tanah negara dan lain sebagainya katanya adalah wajar. Polisi yang menilang dengan sewenang-wenang tanpa sesuai aturan katanya wajar-wajar saja, Justru mereka yang vokal anti-korupsi dikatakan sebagai harakiri dan bunuh diri.
Yang bila korupsi bukan sebuah penyimpangan, bukan sebuah penyakit, dan bukan pula menjadi tren maka apakah korupsi itu. Budaya? Adat? Peradaban? Atau???? Kalau sudah begini wajarlah apabila sekarang ini banyak yang mengejek mereka yang tidak mau terlibat dengan korupsi. Berperilaku anti-korupsi di tengah-tengah masyarakat yang korup adalah harakiri, bunuh diri dan kamikaje…….
Secara umum, sekarang ini, sulit untuk membahas apakah fenomena korupsi di Indonesia ini adalah sebuah penyimpangan, penyakit atau tren sosial.
Kalau itu disebut sebagai penyimpangan maka suatu saat kelak hal itu bisa diluruskan. Bila itu disebut penyakit sosial maka suatu saat penyakit itu dapat diobati dan bila itu disebut tren maka suatu saat tren tersebut akan berubah dan berganti dengan tren yang lain. Kita hanya butuh terapi sosial atau tindakan rekayasa sosial untuk mengobati itu semua. Separah apapun penyakit selalu ada obatnya.
Namun apa yang terjadi bila korupsi dalam arti yang luas seperti KKN, abuse of power, penyelewengan jabatan dan penyalahgunaan posisi menjadi budaya.
Apakah ada sesuatu yang bisa mengubah budaya. Ada. Namun sangat susah dan memakan waktu untuk mengubahnya.
Lihat misalnya, jika anda seorang PNS dan hidup pas-pasan sesuai dengan gaji yang diterima dan tidak mau menerima masukan dan suap-supa lainnya itu maka anda akan ditertawai oleh sesama PNS.
Yah, seorang PNS yang sukses menurut ukuran orang kebanyakan adalah mereka yang mampu membeli dan hidup royal, memiliki harta melimpah, dihormati masyarakat karena sering bagi-bagi duit dan lain sebagainya.
Seorang pejabat yang tidak mau ‘mengatur’ sesuai permintaan konglomerat akan dimutasi karena tidak bisa diajak kerja sama. Padahal dia melaksanakan tugasnya dengan baik. Tidak mau kongkalingkong dan lain sebagainya.
Banyak orang yang berusaha mengobati, meluruskan dan mengubah kebiasaan korupsi. Namun semua itu menjadi bahan tertawaan saja. Dia akan ditinggalkan dan dijauhi orang-orang dekatnya.
Di Indonesia dengan budaya instan yang akut, melakukan tindak korupsi sesuai denga pekerjaan kita dalah wajar. Seorang yang mau mengurus KTP dikatakan wajar apabila menyuap. Lurah yang minta suap dikatakan wajar. PNS imigrasi yang minta suap saat pengurusan paspor katanya adalah lumrah.
Penduduk liar yang menyogok aparat agar mereka tetap bisa tinggal dan membangun di tanah orang, tanah negara dan lain sebagainya katanya adalah wajar. Polisi yang menilang dengan sewenang-wenang tanpa sesuai aturan katanya wajar-wajar saja, Justru mereka yang vokal anti-korupsi dikatakan sebagai harakiri dan bunuh diri.
Yang bila korupsi bukan sebuah penyimpangan, bukan sebuah penyakit, dan bukan pula menjadi tren maka apakah korupsi itu. Budaya? Adat? Peradaban? Atau???? Kalau sudah begini wajarlah apabila sekarang ini banyak yang mengejek mereka yang tidak mau terlibat dengan korupsi. Berperilaku anti-korupsi di tengah-tengah masyarakat yang korup adalah harakiri, bunuh diri dan kamikaje…….
loading...