Diskriminasi Sosial

Dikotomi Hulu dan Hilir: Orang Kota dan Daerah


Pernahkah anda mengalami perlakuan diskriminasi hanya karena anda berasal dari daerah, dari sebuah titik geografi tertentu??? Yah mungkin saja. Hampir semua orang mengalaminya.

Sejarah diskriminasi memang telah ada sejak ummat manusia ini eksis. Dua anak Adam As, juga mengalami diskriminasi kasih sayang yang kemudian berbuntut pada peristiwa pembunuhan pertama dalam sejarah manusia.

Dalam dunia modern, diskriminasi didasarkan, pada kasta, ras, warna kulit, tingkat pendidikan, tingkat kemakmuran, tinggi rendahnya anggota tubuh, antara normal dan cacat dan juga letak geografis seseorang.

Khusus yang terakhir ini, diskriminasi tersebut bahkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban manusia. Misalnya, pernahkan anda mengalami diskriminasi di Singapura hanya karena anda dari Indonesia??? Padahal terkadangan yang melakukan praktek diskrimasi itu adalah seorang supir taksi dengan tingkat pendidikan rendah terhadap orang Indonesia yang kaya dan mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi. Dia mengalami diskriminasi hanya karena berasal dari Indonesia.

Di Indonesia sendiri, diskrimasi seperti ini juga berlaku. Bila anda berasal dari daerah jangan harap anda akan mengalami perlakuan yang sama dengan orang Jakarta yang merasa dirinya orang Pusat. Yah, sebagai orang pusat, banyak orang Jakarta yang merasa lebih pintar, lebih jago, lebih superior dan lain sebagainya yang berujung kepada perlakuan diskrimasi yang tidak masuk akal.

Keluarga sebuah pendatang di Jakarta biasanya mendapat perlakuan yang kurang adil dari penguasa dan preman setempat. Dan tidak ada yang membelanya karena ada anggapan hal itu sudah biasa terjadi. Walau sebenarnya banyak juga bahkan secara porsentasi lebih banyak orang Jakarta yang buta huruf, tolol dan tak berpendidikan di bandingkan orang daerah yang datang ke Jakarta, yang tentunya sudah memiliki berbagai persiapan mental dan ilmu pengetahuan.

Dampaknya, tidak heran bahwa berbagai kebijakan pemerintah pusat sering kali tidak mengindahkan kepentingan daerah. Ada daerah yang tidak pernah dibangun dan kurang mendapat perhatian. Media-media pusat juga begitu. Tindak kriminal dan korupsi di daerah kurang mendapat tempat untuk diliput. Media pusat merasa lebih benar dan akurat daripada media daerah. Hal yang sama juga dialami oleh dunia akademisi. Akademisi jebolan sebuah universitas daerah pasti dianggap kualitasnya lebih rendah dan diragukan dibandingkan yang di kuliah di Jakarta. Padahal banyak dari jebolan universitas Jakarta itu yang kerjanya hanya tawuran saat kuliah dan mereka direkrut hanya karena faktor KKN.

Mengapa diskriminasi antar letak geografi ini bisa terjadi??? Yah, itu adalah sebuah gejala sosial yang ada kalanya berdampak baik tapi lebih sering bernilai negatif. Persepsi yang menimbulkan diskriminasi itu biasanya timbul karena memang di kota atau pusat, arus informasi bisa lebih mudah didapat. Penduduknya biasanya lebih kaya dari yang di daerah secara perbandinghan menyeluruh, dan teknologi biasanya lebih berkembang di pusat.

Maka begitu juga sebenarnya di daerah. Sebuah daerah yang menjadi ibukota provinsi biasanya akan dipandang sebagai daerah yang lebih maju dari daerah-daerah di sekitarnya. Semakin jauh sebuah daerah atau desa dari ibu kota provinsi maka anggapan masyarakat adalah daerah itu semakin kolot dan semakin tak berbudaya. Padahal bukan selalu begitu.

Oleh karena itulah, biasanya orang Medan sering kali merasa lebih maju dan lebih jago dari orang Tebing Tinggi, Orang Tebing Tinggi biasanya merasa lebih maju dari orang Siantar, dan orang Siantar bisanya lebih merasa lebih jago dari orang Balige. Begitu juga seterusnya orang Balige biasanya merasa lebih merasa lebih superior dari orang Dolok Sanggul. Dan orang Dolok Sanggul yang dianggap orang yang paling tidak berbudaya dan paling terbelakang itu masih juga merasa lebih jago dari orang Pakkat. Hanya karena Pakkat lebih jauh secara geografis kepada ibukota provinsi yakni Medan.

Bila kita lihat dari perspektif sejarah, istilah orang pusat dan daerah ini hampir sama dengan istilah Hilir dan Hulu. Orang Hilir biasanya merasa lebih jago dari Hulu. Karena penduduk di Hilir adalah campuran dari orang-orang pendatang dari Hulu dan biasanya Hilir terdapat di pesisir yang juga menjadi tempat singgah orang-orang berdagang dari dunia internasional.

Sehingga, arus informasi di Hilir lebih kuat dan lebih banyak daripada di Hulu. Alhasil nampaknya orang Hulu selalu ketinggalan zaman, ketinggalan berita dan ketinggalan tren dari pada Hilir.

Dalam budaya Batak sendiri hal itu bahkan diadopsi menjadi sebuah diskrimansi marga. Banyak marga-marga yang menambal embel-emebel Toruan (hilir) dan Dolok (hulu) pada ujung marganya dengan maksud yang sama.

Istilah Dolok dan Toruan dalam sebuah huta juga sepertinya mempunyai kemiripan dalam istilah Hilir dan Hulu dalam istilah melayu. Hanya saja bisanya istilah Toruan dalam istilah Batak tidak selalu daerah tersebut berada dekat laut atau pesisir.

Dolok disini biasanya diartikan sebuah perkampungan yang letaknya agak tinggi atau mungkin saja di dataran yang lebih tinggi dan Toruan biasanya sebuah daerah yang lebih rendah atau perkampungan yang bisanya berada di lembah.

Secara umum komoditas pertanian di Dolok juga sangat berbeda dengan mereka yang di Toruan. Orang Dolok biasanya mempunyai temperamen yang lebih keras dengan mereka yang di Toruan. Karena tidak semua orang Toruan yang mempunyai kepentingan di Dolok tapi biasanya hampir semua penduduk di Dolok lebih suka bepergian ke Toruan. Sehingga penduduk Toruan biasanya lebih ramai dari yang di Dolok. Mungkin saja itu diakibatkan karena orang Dolok bila berjalan menuju Toruan terasa lebih enak dan ringan karena menuruni bukit sementara orang Toruan bisanya mengalami kesusahan untuk mendaki mendatangi Dolok kecuali untuk sesuatu tujuan yang penting sekali.

Jadi dahulu kala, saat kota yang pertama sekali maju di Sumatera Utara adalah Barus, dan semua orang Toba bisanya akan menjual hasil produksi ke Barus dan Asahan melalui alur sungai Asahan, maka persepsi diskrimasi seperti sekarang ini tidak ditemukan. Artinya yang ditemukan mungkin adalah kebalikannya.

Misalnya orang Barus merasa lebih superior dari orang Pakkat, orang Pakkat merasa lebih jago dari pada orang Dolok Sanggul. Dan orang Dolok Sanggul yang dianggap primitif itu masih merasa lebih jago juga daripada orang Balige yang menurut anggapan orang adalah tempat pembuangan atau daerah paling terisolir dan tidak berkebudayaan. Padahal mungkin saja semua itu belum tentu benar.

Maka tidak heran juga untuk dipahami, bahwa dengan adanya berbagai isu pemekaran di Indonesia yang semakin marak dan cenderung kebablasan, terselip juga di dalamnya sifat dan perilaku politik untuk mempertahankan daerah atau desanya atau hutanya untuk menjadi ibukota sebuah pemekaran. Sehingga, menurut persepsi mereka yang berpikiran sempit itu, bila huta mereka menjadi ibukota maka itulah nantinya menjadi daerah yang paling maju dan paling berperadaban. Yang lain hanya dianggap perkampungan saja yang biasanya nilai kebudayaannya lebih rendah. Maka segala upaya dilakukan dengan menghalalkan segala cara, bila perlu melalui tindakan penipuan sekalipun, agar meloloskan hutanya menjadi ibukota sebuah pemekaran.

Namun tampaknya secara umum, persepsi primitv ini hanya ada di Indonesia saja. Faktor sentralisasi yang sangat ketat di era orde baru juga merupakan salah satu pemicunya. Padahal di berbagai negara, pusat-pusat komunitas masyarakat bisanya dibagi-bagi antar daerah sehingga tidak ada ketimpangan ekonomi dan budaya seperti itu. Setiap daerah bisanya menjadi saling menghormati, semuanya merasa sama sebagai warga negara sehingga praktek-praktek diskriminasipun bisa diminimalisasi.

Di India misalnya ada New Delhi sebagai pusat pemerintahan. Ada Bombay sebagai pusat perekonomian. Ada Madras atau Chennai sebagai pusat industri, ada Bangalore sebagai pusat IT dan lain sebagainya. Seperti halnya New York dan Washington dan lain sebagainya.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »