Apakah hubunganya Adelin Lis dengan pengkeroposan peradaban Batatk atawa Tapanuli??? Tampaknya pertanyaan yang sederhana dan tidak berhubungan. Memang Adelis Lis, perambah hutan Tapanuli itu, bukanlah satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas semua perusakan alam, yang menjadi habitat orang-orang Tapanuli itu.
Selain dia banyak tokoh-tokoh hitam lainnya yang bertanggung jawab. Namun karena perilaku Adelin Lis yang tidak tanggung-tanggung membabat habis hutan Tapanuli sehingga mengalami kerusakan yang bernilai dua ratusan trilyun rupiah tersebut, sehingga membuatnya layak sebagai representasi dunia hitam yang menghancurkan peradaban itu.
Hancurnya ekosistem Tapanuli akibat ulah Adelin Lis tersebut sebenarnya tidak langsung dirasakan dampaknya. Bermula dari kiprah Mujur Timber, salah satu induk perusahannya, yang dulu dikenal banyak orang dengan perusahaan Ibu Tien itu, ntah dari mana asalnya kok dinamakan perusahaan Ibu Tien, diduga rakyat sekitar ditakut-takuti saja oleh pemilik perusahaan agar tidak macam-macam, yang beroperasi sejak masa orde baru.
Pohon-pohon dan jenis tanaman hutan yang berhubungan dengan peradaban Batak dibabat begitu saja sehingga menimbulkan mala petaka yang berujung tidak saja kepada kerusakan lingkungan tapi pengangguran besar-besaran.
Pengangguran pertama dirasakan oleh pengusaha kerajinan rotan yang bergerak dalam produksi mebel dan peralatan rumah tangga lainnya. Rotan (pakkat) dan Mallo (sejenis rotan yang diameter yang lebih besar) sangat tidak dapat dijauhkan dari kehidupan masyarakat Tapanuli.
Rotan kecil atau pakkat itu dulunya selain untuk meubel digunakan penduduk untuk cemilan di bulan Ramadhan. Mallo atau rotan besar itu merupakan ekspor paling bernilai tinggi yang didapat masyarakt dari hutan hak ulayat mereka.
Namun penebangan hutan secara besar-besaran itu telah mematikan ekosistem dua tumbuhan yang paling diminati ini. Akibat tebang asal-asalan dan perusakan hutan karena masuknya alat-alat berat itu, pohon kemenyan juga habis dibabat.
Kemenyan adalah pohon hutan yang sangat sulit pengembangbiakannya. Pohon ini juga merupakan primadona produk hutan yang tidak dapat dilepaskan dari sistem peradaban Batak. Berapakah nilai dua produk ini yang belum termasuk produk-produk hutan lainnya??? Milyaran, Trilyunan??? Hmm itu belum termasuk potensi kerugian yang di alami untuk 10 bahkan seratus tahun berikutnya.
Selain itu, pabrik-pabrik meubel tradisional yang berbahan kayu juga bermatian, lapangan kerja berantakan, penghasilan rakyat menurun dan lain sebagainya. Adelin Lis masih sangat diuntungkan dengan kegemaran orang Tapanuli untuk merantau. Sehingga kesengsaraan yang mereka derita tidak lama dirasakan karena segera setelah menderita mereka akan merantau ke Jakarta dan tempat-tempat lainnya yang dirasa dapat menghidupi mereka.
Apa kerugian peradaban bila pabrik-pabrik meubel itu hilang?? Ah paling ratusan milyar, berapalah itu, kecil!!! Mungkin begitulah perasaan dan pemikiran yang ada di benak para cukong Cina itu.
Namun bila ditilik lebih jauh, hancurnya kerajinan meubel itu juga menghancurkan daya kreatifitas manusianya. Saat mereka menjadi pengangguran maka penyakit-penyakit sosial malah merebak dan membudaya. Bila sudah membudaya maka yang ada pemburukan citra peradaban. Lagi pula kreatifitas manusia sebagai urat nadi peradaban tidak dapat dihilangkan dan dihentikan begitu saja.
Saat kreatifitas hilang maka yang ada adalah kebodohan massal. Kreatifitas orang Batak dalam menciptakan produk-produk yang bercita rasa tinggi bukanlah sebuah isapan jempol belaka. Kreatifitas itu telah menjadi warisan nenek moyang sejak dahulu kala.
Bahkan ada yang berseloroh mengatakan bahwa Adelin Lis menghabiskan hutan sehingga kayu meranti sebagai bahan baku pembangunan sopo Batak hilang begitu saja. Raib dari hutan. Apakah Adelin Lis lebih mementingkan pembangunan kuil di Cina dari pada pembangunan masyarakat yang hutannya dicuri begitu saja oleh cukong yang tidak berhati nurani ini????
Lihatlah, banyak sopo-sopo Batak sekarang ini malah terbuat dari semen dan tembok. Hal ini disebabkan karena bahan baku utamanya telah dicuri orang.
Kerusakan lain dari tindak pidana Adelin Lis adalah kerusakan moral yang tidak dapat dihitung dengan uang. Kebiasaan Adelin Lis, melalui anak-anak perusahaannya, menyogok para bupati, kadinas kehutan dan kepolisian setempat agar illegal logging-nya membuat praktek suap menyuap menjadi tidak tabu lagi.
Para penerima suap yang tidak tahu diri itu malah menjadi lupa diri dan sesiapa saja yang melakukan bisnis yang sama walau itu legal malah akan diperas dengan uang sogokan yang jumlahnya bisa milyaran.
Di Tapanuli, sesuai dengan karakteristiknya, praktek-praktek korupsi bisa luput begitu saja dari perhatuian aparat maupun peliput berita. Asal praktel korupsi itu dilakukan bersama-sama. Semuanya harus disiram, begitu kata orang. Mulai dari pejabat di kantor Bupati, Kapolres, Kajari, Kepala Dinas Kehutanan, kepala biro masing-masing media di kawasan itu dan Raja Huta setempat. Semua ini bahkan akan dengan senang hati menandatangani sesuatu dengan hanya sogokan 50 sampai 200 jutaan. Mereka tidak sadar bahwa akibat dari tanda tangan mereka itu, negara telah dirugikan milyaran rupiah bahkan trilyunan. Kerugian yang tidak hanya diderita oleh masyarakat dan generasi saat ini, tapi juga bergenerai setelah saat ini.
Apa yang terjadi bila praktek suap yang diperkenalkan para cukong Cina itu menjadi sesuatu yang tidak tabu lagi. Maka yang ada adalah rusaknya sistem dan tatanan masyarakat. Rakyat di bawahnya akan ikut-ikutan melakukan hal yang sama.
Pejabat-pejabar kapolsek yang tidak kebagian jatah suap tersebut akan menerapkan peraturan-peraturan asal-asalan yang ujungnya adalah uang. Pejabat kantor kcamatan sampai kepada desa akan melakukan hal yang sama agar pendapatan mereka tidak timpang dengan mereka yang di kantor bupati.
Oleh itulah, ada peraturan-peraturan yang aneh di Tapanuli yang dibuat atas nama yang malah baik-baik pula. Misalnya untuk memberantas illegal logging. Di desa-desa di Tapanuli ada peraturan dari polsek setempat mengharuskan setiap penduduk yang mempunyai gergaji mesin untuk secara berkala mendaftarkan dan membayar ‘pajak’ kepada kepolisian setempat, kalau tidak mesin tersebut akan disita. Mereka tidak perduli apakah mesin tersebut digunakan untuk keperluan mengelola kebun masing-masing atau tidak.
Jadilah mesin gergaji tersebut seperti sepeda motor. Yang setiap tahuan bahkan bulan harus disetorkan ‘pajak’ nya untuk mendapat ‘stnk’. Akibatnya, banyak masyarakat yang selama ini tidak terpikir untuk melakukan kegiatan illegal logging malah ikut-ikutan beraktifitas dalam bisnis itu. Dari pada membayar pajak terus, padahal jujur bukan untuk illegal logging, lebih baik digunakan untuk menghasilkan pendapatan.
Jadi peraturan tersebut malah tidak melindungi lingkungan akan tetapi menguras kocek dan penghasilan rakyat yang hidupan miskin di daerah terisolir dan pedalaman tersebut.
Ada juga peraturan dari camat dan kepala desa setempat yang tampaknya sangat aneh. Misalnya larangan bagi penduduk untu memasuki areal hutan demi mencegah pembalakan liar. Padahal kegiatan mencari kayu bakar telah menjadi tradisi masyarakat setempat secara turun temurun. Ada juga yang terpaksa masuk hutan sebagai jalan pintas menuju perkebunan mereka yang jaraknya sangat jauh. Maka ditemukanlah cara yakni akomodasi dengan cara kongkalingkong. Asyik….sumber pemasukan lagi buat pembuat peraturan setempat.
Yang lebih parah lagi adalah kegiatan-kegiatan kotor itu berimbas kepada kegiatan masyarakat lainnya. Atas nama pemeriksaan barang-barang illegal logging, sering kali truk-truk masyarakat setempat yang harus menjalani pemeriksaan berkali-kali, walau truk tersebut sudah dikenal sebagai truk bahan sembako atau fungsi-fungsi lainnya.
Karena setiap pemeriksaan itu memakan waktu berjam-jam, maka banyak warga pemilik truk yang mengambil jalan pintas untuk memayar pihak polisi agar diperbolehkan lewat, mengejar waktu kalau tidak mereka akan merugi. Padahal sebenarnya setiap truk yang akan berangkat dari sebuah desa dengan destinasi kota tertentu telah dibekali dengan surat jalan yang dikeluarkan oleh pihak desa terus dinas pendapatan dan kecamatan setempat yang pengurusannya sudah memakan berbagai uang sogokan pula. Karena kalau tidak disogok, surat-surat tersebut akan dilambat-lambati pengeluaranya sehingga membuat aktivitas malah rugi karena tidak tepat waktu.
Yah, suap yang disemarakkan para cukong itu, telah menghancurkan nilai-nilai, norma-sorma dan sitem perekonomian setempat. Para pejabat yang merasa mempunyai kuasa dan tanggung jawab malah pura-pura tidak tahu dan tidak perduli dengan kegiatan masyarakat yang legal dan resmi. Semuanya dianggap illegal. “Kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah” begitu kata mereka.
Dalam berbagai kasus misalnya, oknum TNI yang bekerjasama dengan oknum Kehutanan bahkan seringkali baku tempak dan terlibat peperangan kecil-kecilan dengan kepolisian yang biasanya diutus dari pusat yang bertujuan untuk memberantas kegiatan tersebut.
Konflik antar aparat bukanlah hal yang aneh. Hal lain yang sering terjadi adalah baku hantam, bunuh-bunuhan danlain sebagainya antara warga dan pekerja yang kedua-duanya adalah kaki tangan perusahan-perusahaan cukong Cina tersebut.
Memang di Tapanuli, matinya aktifitas rakyat dalam menolah hasil hutan, bukanlah jaminan bahwa huta akan tidak ditebang. Oknum TNI, kepolisian, kepada desa, kecamatan, koramil, preman dan lain sebagainya malah berlombaa-lomba membabat hutan setempat.
Bertruk-truk kayu illegal diangkut dari desa-desa setempat. Padahal dulunya sebelum giat-giatnya kampanye anti pembalakan liar tidak ada truk yang mengangkut kayu balok karena kayu-kayu yang diambil orang-orang setempat adalah untuk kayu bakar, bahan baku rumah maupun bahan baku industri mebel setempat yang jumlahnya tidak bertruk-truk.
Kemanakah para oknum itu menjual hasil perampokan mereka??? Yah kembali lagi, ke anak perusahaan Adelin Lis.
Dunia yang penuh peradaban seperti Tapanuli tampaknya akan kembali kepada tatanan dunia primitif ratusan tahun lalu. Tenggang rasa, saling menghormati dan lain sebagainya telah berubah menjadi tindakan bunuh-bunuhan dan tikam-tikaman di berbagai kasus.
Sementara itu, kerusakan lingkungan juga berdampak kepada kerusakan situs-situs penting dalam sejarah Batak. Banyak batu-batu megalitikum yang tersimpan di hutanmenjadi santapan empuk para karyawan dan pekerja illegal loging untuk dijual kepada kolektor asing.
Mata-mata air yang bersejarah menjadi kering dan ditinggalkan penduduk karena tidak berfungsi lagi. Kegiatan mandi bersama di sore hari yang rutin dilakukan penduduk menjadi jarang dilakukan.
Banjir bandang, kemarau yang berkepanjangan, longsor, kerusakan jalan akibat dilalui kenderaan-kendaraan berat juga menjadi masalah lain yang tidak terpikirkan tapi pasti membawa maut dan malapetaka.
Lalu dimana tanggung jawab Adelin Lis??? Apakah dengan membagi-bagikan beras kepada ratusan orang secara simbolik yang diliput media massa, yang nilai nomilanya hanya puluhan juta itu dapat menggantikan kerugian trilyunan rupiah. Belum lagi kerugian immaterial, rusaknya moral, warisan budaya, industri setempat dan lain-lain yang tidak ternilai dengan uang???
Moratorium Penebangan Hutan
Salah satu langkah pasti yang harus dilakukan pemerintah sekarang ini adalah moratorium penebangan hutan dengan pelarangan melakukan kegiatan hutan bagi perusahaan multinasional.
Kalau itu tidak bisa dilakukan atas nama kekurangan penerimaan pajak pendapatan pemerintah, maka setidaknya adanya larangan untuk membawa keluar kayu balok yang belum terolah dari bumi Tapanuli.
Biarkan para cukong itu menebangi hutan tapi tidak boleh dibawa keluar Tapanuli. Mereka harus mendirikan industri pengolahan ke dalam bentuk jadi bukan setengah jadi di Tapanuli. Sehingga penduduk setempat dapat diuntungkan dengan pembukaan lapangan kerja.
Kedua, penduduk setempat harus diijinkan untuk mengolah hutan mereka sendiri. Bahan baku industri lokal harus dapat tersedia. Asal saja mereka juga tidak boleh membawa bahan bakunya keluar kabupaten.
Moratorium pembalakan liar itu seharusnya tidak per provinsi. Tapi perkabupaten. Jadi hasil hutan atawa bahan baku hutan tidak boleh dibawa keluar dari kabupaten asalnya. Dari tempat bersangkutan. Dengan demikian, industri-industri pengolahan kayu menjadi bahan jadi siap ekspor akan terdapat di setiap kabupaten.
Keempat, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di perkabupaten harus membagi sahamnya kepada pemda setempat. Sehingga peran serta pemda dan PAD pemda akan terus dapat ditingkatkan.
Kelima, setiap perusahaan berkewajiban menyetorkan dana pembangunan masyarakat setempat yang dibagikan kepada desa-desa setempat dengan supervisi pihak kecamatan dan kabupaten.
Hal ini berguna agar pembangunan infrstruktur pedesaan termasuk fasilitas-fasilitas penanggulangan bencana dapat dibangun yang kelak melindungi rakyat dari bahaya banjir, longsor, kekeringan dan malapetaka lainnya.
Perusahaan wajib menanami kembali hutan yang gundul. Melalui program-program reboisasi dan penghijauan yang sudah baku. Sehingga setiap perusahaan yang baru dan yang lama harus terlebih dahulu menyetorkan dana jaminan reboisasi sebesar luas konsesi HPH yang dimilikinya. Dana jaminan ini bersifat refundable setelah semua kegiatan perusahaan dan kewajibannya telah berakhir dan terpenuhi.
Seterusnya, para oknum aparat baik kepolisian, pengadilan, kejaksaan, dinas kehutanan baik oknum kantor Bupati yang menteror rakyat atas nama mengatasi pembalakan liar yang malah mematikan potensi-potensi ekonomi rakyat di luar sektor kehutanan harus ‘ditebang’ dan ‘dibabat’ habis. Mereka yang menjadi lintah darat yang berkolaborasi dengan dunia hitam demi kehancuran peradaban Tapanuli itu harus dipecak dan dipenjarakan sesuai dengan UU yang berlaku. Pengusutan harus dilakuakn karena banyak Bupati, oknum PNS dan penegak hukum lainnya itu masuk ke birokrasi pemerintah atas sogokan yang kadangkala berasal dari cukong-cukong hitam itu.
Selain itu, perusahanan-perusahaan pemegang HPH berkewajiban mendirikan kebun binatang di daerah operasionalnya sebagai alternatif hilangnya satwa hutan akibat rusaknya ekosistem. Selain itu di setiap kabupaten tempat beroperasinya setiap perusahaan wajib mendirikan dan mendanai beroperasinya ‘kebun-kebun raya’ yang berfungsi sebagai tempat riset, pembudidayaan tanaman-tanaman yang akan punah dibabat oleh cukong tersebut. Seperti halnya Kebun Raya Bogor yang menyimpan ratusan bibit-bibit tanaman langka yang hilang akibat pembalakan liar.
Sehingga tanaman-tanaman rakyat seperti pohon haminjon, meranti, jari, bunga-bungaan, rotan dan lain sebagainya yang menjadi ciri khas dan karakteristik peradaban Batak tidak punah begitu saja. Duh Adelin Lis, kurang baikkah masyarakat Tapanuli kepadamu???