Dr. Anwar Nasution

Mendorong Kemandirian BPK

Mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) ini ditetapkan sebagai ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), setelah sempat terjadi tarik ulur antara DPR dan pemerintah. Presiden Megawati Soekarnoputri di hari terakhir masa jabatannya akhirnya menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 185 M Tahun 2004 tertanggal 19 Oktober 2004 mengangkat tujuh pimpinan BPK.

Selain Anwar Nasution yang telah diusulkan DPR sebagai ketua BPK, juga dikukuhkan Wakil Ketua BPK Abdullah Zaini dan lima anggota BPK. Mereka adalah Imran (deputi Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan/BPKP), Baharudin Aritonang (mantan anggota Komisi IX DPR), Hasan Bisri (auditor BPK), Irjen Pol Udju Zuhairi (mantan anggota Komisi IX DPR), dan I Gusti Agung Rai (auditor BPK).



Masa jabatan ketua BPK Satrio Budiardjo "Billy" Joedono yang digantikan Anwar seharusnya berakhir pada 8 Oktober 2003. Tetapi, presiden memperpanjangnya.

Anwar Nasution kepada wartawan mengatakan, ke depan BPK harus bisa lebih mandiri. Kemandirian itu bisa dimulai dengan penguatan undang-undang BPK yang saat ini dalam proses amandemen di DPR. Kemandirian BPK dimaksud termasuk kemandirian secara politis maupun anggaran. "Selama ini belum ada UU soal kemandirian BPK. Jadi, BPK belum mandiri. Kita harus pikirkan itu," ujar Anwar.

Anwar juga berjanji akan tetap independen. Meski pernah menjadi pejabat di BI, dia bertekad BPK akan objektif jika menemukan penyelewengan di tubuh bank sentral tersebut.

Dihubungi terpisah, anggota DPR Rizal Djalil menilai penunjukan Anwar tidak akan menimbulkan polemik. Selain sosok Anwar dinilai relatif bersih, kemampuannya juga sudah teruji. Terutama, selama menjabat deputi gubernur senior (DGS) BI.

Beberapa fraksi di DPR menilai Anwar sosok terbuka dan apa adanya. "Figur seperti itu yang dibutuhkan BPK. Tapi, sebaiknya Pak Anwar tidak banyak komentar seperti saat di BI setiap selesai salat Jumat," saran Rizal.

Untuk rencana kerja, DPR merekomendasikan agar BPK memperpendek tugas audit yang kini dikerjakan setiap enam bulan. Ke depan, setiap institusi yang memasukkan laporan keuangannya, BPK bisa langsung mengaudit dan mengumumkannya ke publik. "Jadi, tidak perlu menunggu sampai enam bulan untuk memproses audit," harapnya. (ssk/pri/yun)



Setelah Masuk ‘Sarang Penyamun'


Ia dikenal sebagai ekonom yang sangat vokal. Sebelum menjadi Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, ia sering mengkritik tajam pemerintah dan Bank Indonesia menyangkut kebijakan sektor ekonomi dan moneter. Salah satu kritiknya yang paling monumental ketika ia menyatakan: "Bank Indonesia itu sarang penyamun." Maka, saat diangkat masuk BI, banyak harapan dialamatkan ke pundaknya untuk membersihkan penyamun dari bank sentral itu.



Tapi, tampaknya mantan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu tidak bisa berbuat banyak. Ia pun telah mengakhiri masa tugasnya di BI pada Selasa 27 Juli 2004, digantikan oleh Miranda Gultom. Sebelum melepas jabatan Deputi Senior Gubernur BI itu, ia telah dinominasikan di urutan pertama yang dipilih dan diajukan oleh DPR kepada presiden untuk menjabat Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menggantikan Satrio Billy Joedono yang telah berakhir masa tugasnya.


Publik yakin, pria kelahiran Sipirok, Sumatera Utara 5 Agustus 1942, ini tidak sembarang melemparkan kritik terhadap bank sentral itu. Sebab sebagai seorang ekonom dan akademisi, ia diyakini punya alasan cukup kuat tentang pernyataan-pernyataannya. Doktor bidang ekonomi dari Tufts University, Massachusetts, USA 1982, itu mengatakan kritiknya tidak lepas dari tindakan BI sendiri. Lembaga ini lebih banyak berperan sebagai bagian dari birokrasi daripada sebagai bank sentral.

Menurutnya, hampir semua program kredit yang dikeluarkan BI lebih bernuansa politik. Sehingga terjadilah praktek mark up, korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta adanya investasi keliru yang mengakibatkan kehancuran sistem perbankan. Sebelum diberlakukannya UU No. 23/1999, BI memang masih belum independen dan masih mengucurkan kredit.

Sebelum menjabat di BI, ia juga mengungkapkan bagaimana ulah bank sentral ini yang diibaratkannya sebagai rumah gadai. Hal mana, BI kerap memberikan kredit tanpa memperhatikan karakter dan tingkah laku si penerima kredit itu sendiri. Tindakan itu berakibat fatal, dan harus dibayar mahal oleh perbankan nasional. Antara lain, katanya, itu terlihat dari tindakan BPPN yang harus membayar mahal ahli hukum, konsultan, dan tenaga ahli lainnya. Karena itu, lanjutnya, BI tidak boleh lagi memberi kredit-kredit yang bernuansa politik.

Lalu setelah masuk BI yang disebutnya ’sarang penyamun’ itu, tampaknya ia tidak bisa berbuat banyak. Posisinya sebagai Deputi Senior Gubernur BI tidak cukup kuat untuk melakukan reformasi di bank central yang penuh noda itu. Mentalitas para pejabat dan karyawannya yang sudah terbiasa melayani kepentingan diri, sehingga berakibat kebijakan moneter negeri ini sempat amburadul, tak mudah diubah. Bahkan berbagai pihak sempat menduga bahwa ia menjadi larut dalam ’sarang penyamun’ itu. Atau BI kini sudah tidak lagi sebagai’sarang penyamun’?

Namun, kelihatannya ia bukan orang yang diinginkan dalam tubuh BI. Presiden Megawati Sukarnoputri juga tampaknya tak melihat potensinya untuk dapat memperbaiki kinerja BI. Terbukti, ia tidak ikut dicalonkan untuk menjabat Gubernur BI menggantikan Syahril Sabirin yang akan berakhir masa jabatannya 17 Mei 2003. Padahal, sebelumnya banyak pihak menduga ia akan dicalonkan. Bahkan disebut, ia salah seorang yang paling layak dicalonkan daripada tiga calon yang diajukan presiden.

Ketidakkuasaannya melakukan reformasi dalam tubuh BI, tercermin juga dalam sikapnya sehari-hari. Ia malah sempat melontarkan betapa pihak asing tak memandangnya, karena jabatannya hanya deputi senior, saat syahril Sabirin dalam tahanan sekalipun. Lalu, ia pun sempat menyatakan mengundurkan diri bersama empat deputi Gubernur BI, secara serempak, saat Gubernur BI Syahril Sabirin ditahan karena dituduh terlibat kasus Bank Bali.

Pengunduran diri ini mengundang pro dan kontra. Ada yang mengiranya sebagai persekongkolan atau mungkin tekanan untuk mengganti Syahril Sabirin yang memang sudah lama diinginkan Presiden Abdurrahman Wahid ketika itu. Apalagi, sehari setelah pengunduran diri itu, presiden mengajukan namanya menjadi calon Gubernur BI bersama Dr Hartadi dan Fajriah Fajriah yang saat itu menjabat Direktur Pengawasan BI.

Namun, keinginan penggantian Gubernur BI itu rupanya tidak mudah dilakukan. Terjadi pro dan kontara tentang hal ini. Akhirnya pemerintah dan DPR sepakat (Minggu 19/11/2000) proses pergantian gubernur bank sentral itu diundur sambil menunggu revisi Undang-undang (UU) No. 23/1999 tentang BI.

Kendati Gus Dur sendiri tetap bersikeras mempertahankan Anwar Nasution sebagai calon gubernur BI. Pasalnya, Anwar dinilai memenuhi kriteria untuk menduduki posisi orang nomor satu di bank sentral itu. Kalangan DPR menolak pencalonan Anwar, karena selain ada parpol yang mempunyai kepentingan untuk mempertahankan Syahril, mekanisme yang ditempuh Gus Dur juga dinilai melanggar UU No. 23/1999.

Beberapa pengamat berpendapat, pengajuan tiga bakal nama calon gubernur BI dan deputi gubernur senior merupakan kesalahan, bahkan pemerintah bisa dikategorikan melanggar UU No. 23/1999. Syahril yang berstatus tahanan rumah dalam kasus Bank Bali (BB) tidak bisa diberhentikan begitu saja selama belum ada kepastian hukum yang menyebutkan dia bersalah. Ini disebut bukan sekadar intervensi, tapi juga pelanggaran UU.

Sementara, untuk mencegah kevakuman kepemimpinan BI, pemerintah tetap meminta kepada mereka yang mengundurkan diri untuk bekerja sampai terpilihnya deputi yang baru. Pemerintah memandang, pengunduran diri mereka bukan dilihat sebagai bentuk kegagalan kerja, tetapi merupakan permintaan pribadi masing-masing sebagai tanggung jawab moral terhadap apa yang terjadi di masa lalu.

Kepala Biro Humas BI Halim Alamsyah itu juga mengeluarkan pernyataan pers yang menyebutkan, penanggungjawab pelaksanaan tugas BI tetap dilaksanakan anggota Dewan Gubernur BI. Selain itu, BI mengimbau kalangan perbankan dan lembaga keuangan baik dalam maupun luar negeri serta masyarakat tetap tenang dan bertindak wajar, sehingga tak mengganggu upaya pemulihan ekonomi nasional yang saat ini sedang dilaksanakan.


Sementara itu, Anwar Nasution didampingi Deputi Gubernur BI Achyar Ilyas dan tiga orang staf BI sebelumnya menjenguk Syahril Sabirin di Rumah Tahanan (Rutan) Kejaksaan Agung. Wartawan yang mengira terjadi penandatanganan serah terima wewenang Gubernur BI di tahanan itu, langsung mengerumuni Anwar. Anwar membantah isu serah terima itu. Ia mengatakan, belum ada rencana Syahril mundur dari jabatan sebelum pengadilan memutuskan apakah salah atau tidak. Ia yang menjadi pelaksana tugas kepemimpinan BI setelah Syahril Sabirin ditahan, juga berkali-kali berkata tak tahu saat wartawan menanyakan pendapatnya tentang rekayasa di balik penahanan Syahril.


Perjalanan karir penulis Financial Institutions and Policies in Indonesia, ISEAS (1983), ini banyak berada di lingkungan akademis. Diawali sebagai asisten pengajar, dosen dan guru besar ekonomi di FEUI mulai tahun 1964 sampai sekarang. Selain itu sejak tahun 1985 menjadi pengajar tamu mata kuliah ekonomi di Lemhannas, Seskoal dan Seskoad. Pada tahun 1995-1996, ia sempat menjadi pengajar tamu mata kuliah ekonomi pembangunan di University of Helsinki, Finlandia. Selain itu ia juga aktip sebagai konsultan dan menjabat Komisaris Semen Gresik, dan Pelindo II.


Maka ketika ia baru diangkat menjadi Deputi Senior Gubernur BI, Rasa humor, saat sejumlah wartawan ingin mengucapkan selamat, secara berkelakar ia mengatakan: "Jangan memberi ucapan selamat. Lebih tepat ucapan duka cita. Soalnya, gaji saya sekarang hanya sepertiga dari yang saya terima setiap bulannya. Padahal, tugas dan beban saya lebih berat," ucapnya tertawa, seperti dikutip sebuah majalah.

Ucapan itu tidak berlebihan. Sebab dengan menjadi Deputi Senior Gubernur BI, ia harus melepaskan sejumlah jabatannya. Soalnya, sebagai deputi senior, ia tidak bisa lagi merangkap jabatan. Selain itu, sudah pasti, waktunya akan banyak tersita di BI. Sehingga kesempatannya berceramah di mana-mana seperti sediakala dan untuk berkumpul dengan keluarga pun jadi berkurang. Termasuk shoping ke mal bersama anak dan isterinya. Bahkan, suatu kali, ia harus absen menemani anak dan isterinya berlibur ke luar negeri --sekaligus menjadi pembicara pada sebuah seminar di sana-- karena harus tampil di DPR untuk melakukan presentasi sebagai calon Deputi Senior Gubernur BI.

Kendati demikian, diangkatnya ia menjadi orang nomor dua di bank sentral itu bukan tidak mengundang pro-kontra. Alasannya macam-macam. Di antaranya sikap kritisnya terhadap pemerintah menyangkut kebijakan sektor ekonomi, moneter, maupun politik secara umum. Salah satu kritiknya yang paling monumental adalah: "Bank Indonesia itu sarang penyamun." Kritik ini membuat orang-orang BI tercengang dan berang. Sebagian ada pula yang mengatakan bahwa ia tidak berkemampuan membangun kerja tim. Juga keenggannya melepaskan jabatan sebagai Dekan FE UI.

Pria Batak berjiwa kebangsaan ini menghabiskan masa kecil di tanah kelahirannya Sipirok, Tapanuli Selatan. Di situ ia menamatkan SD dan SMP. Di SMP, ia meraih juara pertama. Lalu melanjut ke SMA Teladan, Medan. Di sini, ia menjadi "preman" --istilah di sana untuk anggota gank. Namun, sekolahnya tetap lancar.AN. Mengambil jurusan ilmu pasti dan pengetahuan alam, ia juga menjuarai mata pelajaran aljabar, goneometri, dan ilmu falak. Anehnya, "Mata pelajaran ekonomi malah saya tak suka," kanangnya.

Lalu, tak heran bila kemudian ia mendaftar di Fakultas Matematika & Ilmu Pasti Alam (FMIPA) Institut Teknologi Bandung (ITB), 1961. Baru setahun ia kuliah, seorang rekan se-SMA "menggodanya". Rekannya bilang, lowongan untuk sarjana matematika susah. ”Nanti mau kerja apa kau," kata si teman, yang lalu menganjurkannya pindah ke fakultas ekonomi. Anwar pun mendaftar ke FE UI dan diterima.

ITB pun ditinggalkan, lalu tinggal di asrama mahasiswa UI di Rawamangun. Ketika di asrama itu, ia memprakarsai nama asrama itu, Daksinapati, kata Sanskerta yang berarti "calon suami yang baik". Nama itu dipakai hingga kini. Pada 1966, ia turut menyelenggarakan seminar ekonomi, yang kesimpulannya dipakai sebagai bahan Ketetapan MPRS No. 63/MPRS/66.

Pada 1968, setelah lulus dari FE UI, ia mengajar di almamaternya, sambil menjadi tenaga bantuan pada Dirjen Moneter Departemen Keuangan. Sejak 1975, ia menjadi peneliti pada Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM) FE UI. Menurutnya, hal yang menarik sebagai peneliti adalah tidak adanya ikatan birokrasi. Ia mengaku paling malas kalau disuruh rapat.

Ia pun kemudian meraih MPA di Harvard University, Massachusetts, USA pada tahun 1973. Tahun berikutnya (1974), ia menikah dengan perancang interior Maya Ayuna. Gelar doktornya dalam bidang ekonomi diraih di Tufts University, Medford, Massachusetts, USA pada tahun 1982. dengan disertasi berjudul "Macroeconomic Policies, Financial Institutions and a Short Run Monetary Model of the Indonesian Economy". Di negeri Paman Sam itu, penggemar joging ini, juga mendalami administrasi perpajakan.

Ia anak sulung dari enam bersaudara. Darah guru mengalir dalam tubuhnya. Kedua orangtuanya guru SMP. Pria yang suka kelakar ini, juga rajin berolahraga. dulu, pada 1970-an ia berlatih karate pada Lahardo. Sebagai murid yang setia, ia ikut berpartisipasi ketika Lahardo diadu melawan macan di Stadion Utama Senayan, Jakarta. Sebelum Lahardo masuk gelanggang, ia dan teman-temannya mengelilingi sang macan. Tahu-tahu, ada penonton iseng melempar sesuatu. "Kami langsung bubar, karena macan keburu mengamuk duluan," tuturnya seraya tertawa terpingkel-pingkel.

Kinerja
Seusai menjadi pembicara kunci pada Seminar 'BPR, Peluang Investasi' di Malang, beberapa waktu lalu, ia mengatakan semua pihak agar jangan hanya menyalahkan tim ekonomi Kabinet Gotong Royong sehubungan dengan upaya mereka dalam pemulihan ekonomi bangsa yang terkesan 'jalan di tempat.' Karena ada berbagai masalah dan faktor yang kurang mendukung upaya pemulihan ekonomi bangsa ini, seperti masa transisi menjadi sistem demokrasi.

Selain persoalan masa transisi, katanya, hal itu juga dipengaruhi adanya perubahan sistem pemerintah dari sentralistis menjadi otonomi serta adanya pengurangan peran politik dari TNI. Sehingga perlu waktu untuk perbaikan yang dilakukan secara bertahap.


Ia juga menjelaskan salah satu strategi pemerintah yang kini gencar dilakukan untuk pemulihan ekonomi nasional adalah memberdayakan usaha kecil menengah (UKM) melalui empat pilar kebijakan, yakni kebijakan kredit perbankan, kebijakan kredit program, bantuan teknis, serta pengembangan kelembagaan. Ia berharap melalui empat pilar strategi tersebut dapat memperluas akses UKM terhadap fasilitas kredit perbankan, sehingga potensi UKM dapat dikembangkan sekaligus mempercepat usaha negeri ini untuk keluar dari krisis ekonomi.

Ia pun menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia masih belum bisa dikatakan sustainable (berkesinambungan). Sebab, iklim investasi di dalam negeri belum memungkinkan bagi para investor untuk berbondong-bondong masuk dan membuka investasi baru di Indonesia.

Menurutnya, adanya peningkatan konsumsi dalam negeri, juga tidak mampu memacu kenaikan investasi. Oleh karena itu, agenda terpenting bagi pemerintah, termasuk BI, adalah bagaimana menjaga situasi dan kondisi sosial, ekonomi, dan politik, serta keamanan dalam negeri yang dapat merangsang masuknya investor.

"Betul dalam teori ekonomi yang kita pelajari, kalau konsumsi itu meningkat, maka melalui proses akselerator hal itu akan menggerakkan dan mendorong perekonomian. Asalkan, kenaikan konsumsi itu memang meningkatkan investasi. Dengan peningkatan investasi yang terjadi, harusnya akan meningkatkan income. Akan tetapi, belum kelihatan di sini bahwa kenaikan konsumsi menaikan investasi,” jelasnya.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »