Batak Monarchies

Dalam peradaban Batak yang telah eksis dan terstruktur sejak ribuan tahun sebelum kelahiran Yesus Alaihissalam, terdapat beberapa dinasti yang turut serta dalam memperkaya khazanah sejarah bangsa Batak

Berikut adalah dinasti-dinasti tersebut yang membangun peradaban Batak.

DINASTI SAGALA (SORIMANGARAJA)

1. Sorimangaraja I-XC (1000 SM-1510M)
2. Sorimangaraja XC (1510). Dikudeta oleh orang-orang marga Simanullang
3. Raja Soambaton Sagala menjadi Sorimangaraja XCI
4. Sorimangaraja CI (ke-101) 1816 M dengan nama Syarif Sagala. Sudah Masuk Islam

Dinasti ini berdiri di pusat tanah Batak, Sianjur Sagala Limbong Mulana (SSLM) sejak berabad-abad sebelum masehi dan kemudian berkembang di tanah Batak selatan atau Mandailing, Angkola dan Natal.

Pada fase 1000 SM – 1510 M, dari ibukotanya di SSLM, dinasti Sorimangaraja memerintah selama 90 generasi dalam sebuah bentuk kerajaan teokrasi. Rajanya bergelar Datu Nabolon atau Supreme Witch Doctor.

Dinasti ini pernah mengalami guncangan politik dalam negeri yang hebat saat pihak komunitas Batak di Simalungun memisahkan diri pada tahun antara 600-1200 M dan mendirikan Kerajaan Nagur yang menjadi fondasi terhadap kesultanan Islam di tanah Batak perbatasan Aceh dan di Aceh sendiri.

Melihat luasnya cakupan kerajaan ini, kalangan komunitas Batak di tanah karo dusun, juga akhirnya memilih untuk memisahkan diri dan mendirikan kerajaan Haru Wampu. Pemisahan diri tersebut juga berakibat kepada pemisahan sistem sosial dan identitas.

Pada tahun 1510, pemerintahan Sorimangaraja XC dikudeta oleh orang-orang marga Si Manullang. Informasi ini didapat dengan menganalisa legenda dan cerita rakyat di Kerajaan Dolok Silo di Simalungun yang menyebutkan bahwa Dinasti Sorimangaraja dikudeta oleh orang-orang marga Simanullang hanya dua tahun paska kemenangan Sultan Aceh yang pertama dalam mengalahkan Raja Haru Wampu yang keempatbelas.

Dalam peristiwa tersebut, atas perintah Sultan Ali Mughayat Syah, Panglima Manang Sukka (Seorang Batak Karo) merebut daerah Haru Wampu pada tahun 914 H atau 1508 M. Banyak kisah dan sejarah Batak yang sangat kaya tersebut tidak dilengkapi dengan tarikh dan penanggalan yang jelas. Namun karena kejadian-kejadian tersebut selalu berhubungan dengan kesultan dan kerajaan-kerajaan Aceh, yang sudah banyak tenaga ahlinya menuliskan sejarah yang bertanggal, maka sangat mudah untuk memastikan tahun-tahun kejadian di kerajaan Batak tersebut.

Orang-orang marga Simanullang sempat berkuasa di tanah Batak pada tahun 1510-1550 M, Namun akhirnya kekuasaan mereka redup dan digantikan oleh Dinasti Sisingamangaraja. Kekuasaan orang-orang marga Simanullang direbut oleh seorang Datu marga Sinambela.

Dinasti Sisingamangaraja sendiri memerintah percis dalam tahun-tahun yang sama dengan pemerintahan Dinasti Sultan Ali Mughayat Syah (1513-1904 M). Oleh sebab itu, terdapat banyak angka-angka tahun di dalam tarikh hijriah perihal raja-raja Sisingamaraja ada di dalam buku-buku hikayat perang Aceh. Raja-raja Sisingamangaraja sendiri selalu menuliskan penanggalan mereka dalam tarikh hijriyah. Misalnya, stempel kerajaan yang bertanggal hijriyah.

Saat kejatuhan dinasti Sorimangaraja, mereka kemudian, pindah ke tanah Batak Selatan. Di sana mereka berusaha untuk menampilkan kembali kejayaan mereka yang dulu. Mereka sangat disegani oleh raja-raja lokal di Tapanuli Selatan sekarang ini.

Raja Soambaton Sagala menjadi Sorimangaraja XCI. Dia migrasi ke selatan melewati tanah Batak yang aman dalam kekuasaan Dinasti Hatorusan (Pasaribu) dan Dinasti Pardosi.

Raja Soambaton diikuti oleh dua orang pengawal pribadinya; Tahi Sitanggang dan Bonggar Simbolon. Di daerah ini Tahi Sitanggang dan Bonggar Simbolon dalam sebuah perayaan Tabut Hassan Hussein memeluk agama Islam dan keduanya menikah dengan putri-putri Batak Syiah di teluk Sibolga.

Keduanya membangun kampung-kampung komunitas Batak di Teluk Sibolga dalam bentuk masyarakat maritim. Mereka banyak menjadi pelaut dan bekerja pada kapal-kapal musafir asing yang singgah di daerah tersebut. Komunitas mereka ini berkembang sampai ke daerah Ujung Karang yang sekarang bernama Padang. Orang-orang Batak yang berasal dari Humbang, Toba dan Silindung ini saat itu menganut agama Islam mazhab syiah karmatiyah lengkap dengan perayaan Tabuik-nya (Tabuk Hassan Hussein).

Raja Soambaton sendiri memilih untuk meneruskan perjalanannya ke Sipirok melalui Batangtoru dan Marancar. Di sana dia berkesempatan menjadi seorang Ahli Hujur Panaluan dalam tradisi perayaan ritual Upacara Gajah Lumpat. Berkat posisinya tersebut dia akhirnya diangkat menjadi Datu Nahurnuk oleh penduduk lokal di Sipirok yang kebanyakan bermarga Siregar.

Dia kemudian membangun singgasananya di Sampean, di atas bukit Dolok Pamelean di bawah pohon Bona Ni Asar. Dia resmi diakui oleh raja-raja lokal di Sipirok menjadi Sorimangaraja yang ke-91. Pasar Sipirok dan Dolok Pamelean menjadi pusat pemerintahan yang ramai.

Pada tahun 1816, Sorimangaraja CI (ke-101) menjadi pemeluk agama Islam dengan ajakan Raja Gadumbang. Dia mengucapkan syahadat dan mengganti namanya menjadi Syarif Sagala. Pada tahun 1834, hegemoni raja-raja Batak yang menjadi kaum adat mendapat tantangan dari kaum Padri yang berasal dari Sumatera Barat.

Dua orang saudara Syarif Sagala yakni; Jamaluddin Sagala dan Bakhtiar Sagala kembali menganut agama tradisional Batak. Sejarah Batak pada tahap ini seakan berhenti dengan intrusi orang-orang Eropa; Inggris dan Belanda.

Orang-orang marga Sagala yang kembali menganut agama tradisional Batak tersebut akhirnya dikristenkan oleh Pendeta Gerrit van Asselt menjadi penganut protestan kalvinist. Paska kemerdekaan RI, orang-orang marga Sagala yang kristen yang jumlahnya sedikit hidup dengan aman penuh toleransi dari saudara-saudara mereka di Sipirok, tepatnya di kampung Sampean yang praktis seluruhnya beragama Islam.


DINASTI PASARIBU (HATORUSAN)

Dinasti ini didirikan oleh Raja Uti putra Tateabulan. Bila Dinasti Sorimangaraja berakhir di tanah Batak bagian selatan (Tapsel), maka Dinati Hatorusan ini berakhir di Barus, atau tanah Batak bagian barat.

Ibukotanya sendiri berada di kota-kota pesisir. Di antaranya Singkel, Fansul dan Barus. Raja Uti yang mendirikan kerajaannya di wilayah Limbong Sagala memerintahkan pemindahan kekuasaan ke wilayah fansur.

Sejarah regenerasi Raja Uti, mulai dari 1000 tahunan sebelum masehi sampai salah satu keturunanya yang bergelar Raja Uti VII di tahun 1500-an, tidak terdokumentasi dalam penanggalan yang jelas. Namun secara umum, dia memiliki beberapa keturunan, yang sempat diketahui namanya. Namun mungkin saja antara satu nama dengan nama yang lain berjarak puluhan sampai ratusan tahun. Karena kerajaan Hatorusan selalu hilang dan mucul kembali sesuai dengan percaturan politik.

1. Datu Pejel gelar Raja Uti II
2. Ratu Pejel III
3. Borsak Maruhum.
4. Raja Uti V bergelar Datu Alung Aji
5. Raja Uti VI yang bernama Longgam Parmunsaki.
6. Raja Uti VII bernama Datu Mambang Di Atas.

Selama pemerintahan Raja Uti VII, abad ke-16, pemerintahan kerajaan mulai goyah. Ekspansi kerajaan telah meluas sampai ke beberapa wilayah di Aceh. Raja Uti VII diceritakan memindahkan ibu kota kerajaan ke wilayahnya di bagian utara yang sekarang masuk kedalam pesisir Aceh.

Tidak diketahui secara pasti alasan pemindahan ibukota kerajaan. Namun diduga bahwa, telah ada sebuah gerakan oposisi yang bermaksud untuk mengkudeta Raja. Kekuatan pemberontak tersebut berasal dari pedalaman Batak. Kerajaan memang sudah mengalami kegoncangan setelah sebelumnya bebeberapa kerajaan kecil yang menjadi subordinat telah memilih memisahkan diri.

Sang Raja VII mempunyai beberapa panglima di antaranya seorang panglima yang sangat tangguh yang juga kebetulan adalah kemenakannya sendiri. Putra dari seorang saudari perempuannya, Boru Pasaribu. Dia bernama Mahkuta alias Mahkota yang dikenal di kalangan Batak dengan sebutan Manghuntal putra seorang datu bermarga Sinambela dari pusat Batak. Dia dididik di istana kerajaan dan menjadi Panglima yang menguasai matra Angkatan Darat dan Laut.

Ketika Portugis pertama sekali menyerang daerah tersebut, Panglima Mahkuta memimpin bala tentaranya dan memenangkan peperangan tersebut. Selain mendapat serangan dari pihak luar, kerajaan juga mendapat pemberontakan di dalam negeri.

Mahkuta kemudian diperintahkan untuk menumpas pemberontakan di sentral Batak tersebut. Dalam usahanya menumpas pemberontak, di ibukota kerajaan terjadi kudeta dan perebutan kekuasaan. Kerajaan terpecah dalam kerajaan-kerajaan kecil. Mahkuta alias Manghuntal mendirikan Dinasti Sinambela (Sisingamangaraja) di Bakkara.

Sementara itu, komunitas Pasaribu di Barus, para keturunanan Raja Uti, meneruskan hegemoni Dinasti Pasaribu dengan naiknya Sultan Ibrahimsyah Pasaribu menjadi Sultan di Barus Hilir. Ada pendapat sejarah yang mengatakan bahwa Sultan Ibrahimsyah Pasaribu adalah orang yang memberi kekuasaan kepada Manghuntal, Mahkuta, untuk mendirikan kerajaannya di Bakkara. Dengan demikian dialah yang bergelar Raja Uti VII tersebut (?).

Selain nama-nama di atas, berikut adalah nama-nama Dinasti Hatorusan berikutnya:

1. Sultan Ibrahimsyah Pasaribu (Gelar Raja Hatorusan). Wafat 1610 Masehi.
2. Sultan Yusuf Pasaribu
3. Sultan Adil Pasaribu
4. Tuanku Sultan Pasaribu
5. Sultan Raja Kecil Pasaribu
6. Sultan Emas Pasaribu
7. Sultan Kesyari Pasaribu
8. Sultan Main Alam Pasaribu
9. Sultan Perhimpunan Pasaribu
10. Sultan Marah Laut bin Sultan Main Alam Pasaribu pada tahun 1289 rabiul akhir atau pada tanggl 17 Juni 1872 menuliskan kembali Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus, dari sebuah naskah tua peninggalan leluhurnya yang hampir lapuk.



DINASTI PARDOSI (POHAN)

Dinasti yang memerintah di Barus Hulu yang mencakup beberapa daerah tanah Batak bagian barat termasuk Negeri Rambe (Pakkat). Didirikan oleh Raja Alang Pardosi dengan penahunan yang tidak jelas namun diyakini berdiri sejak awal-awal berdirinya kerajaan si Raja Batak di Tanah Batak, yakni lebih kurang tahun 1000 SM.

1. Raja Kesaktian (di Toba)
2. Alang Pardosi pindah ke Rambe dan mendirikan istana di Gotting, Tukka
3. Pucaro Duan Pardosi di Tukka
4. Guru Marsakot Pardosi di Lobu Tua
5. Raja Tutung Pardosi di Tukka, berselisih dengan Raja Rambe di Pakkat.
6. Tuan Namora Raja Pardosi
n Ada gap yang lama, beberapa raja difase ini tidak terdokumentasi
7. Raja Tua Pardosi
8. Raja Kadir Pardosi (Pertama masuk Islam)
9. Raja Mualif Pardosi
10. Sultan Marah Pangsu Pardosi (700-an Hijriyah)
11. Sultan Marah Sifat Pardosi
12. Tuanku Maharaja Bongsu Pardosi (1054 H)
13. Tuanku Raja Kecil Pardosi
14. Sultan Daeng Pardosi
15. Sultan Marah Tulang Pardosi
16. Sultan Munawar Syah Pardosi
17. Sultan Marah Pangkat Pardosi (1170 H)
18. Sultan Baginda Raja Adil Pardosi (1213 H)
19. Sultan Sailan Pardosi (1241 H )
20. Sultan Limba Tua Pardosi
21. Sultan Ma’in Intan Pardosi
22. Sultan Agama yang bernama Sultan Subum Pardosi
23. Sultan Marah Tulang yang bernama Sultan Nangu Pardosi (1270 H)

Sumber: Naskah Jawi yang dialihtuliskan dari kumpulan naskah Barus dan dijilidkan lalu disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan no. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.

Kisah dalam buku tersebut dimulai dengan kata-kata “Bermula dihikayatkan suatu raja dalam negeri Toba sila-silahi (Silalahi) lua’ Baligi (Luat Balige), kampung Parsoluhan, suku Pohan .” Raja yang bersangkutan adalah Raja Kesaktian dan dalam kisah itu tercatat bahwa anaknya, Alang Pardoksi (Pardosi), meninggalkan jantung tanah Toba untuk merantau.

Alang Pardosi meninggalkan keluarga dan rumahnya sesudah bertikai dengan ayahnya; bersama istri dan pengikutnya dia berjalan ke barat. Dalam sepuluh halaman pertama diceritakan perbuatan-perbuatan Alang Pardosi yang gagah berani, tanah yang dinyatakannya sebagai haknya di rantau, jaringan pemukiman baru yang didirikannya, dan perbenturannya dengan kelompok perantau lain dari Toba.

Alang Pardosi mengklaim hak atas sebidang tanah yang luas, yang merentang dari Kampung Tundang di Rambe (Pakkat sekarang), tempat ia menetap, ke barat sampai Singkil, ke timur sampai perbatasan Pasaribu, ke hilir sampai ke tepi laut. Termasuk di dalamnya Barus.

Keluarga yang berselisih dengan Alang Pardosi adalah keluarga Si Namora. Si Namorapun telah meninggalkan rumahnya di Dolok Sanggul sebagai akibat percekcokan dalam keluarga. Bersama istrinya dia menetap di Pakkat, dan Alang Pardosi, Sang Raja, menyadari kehadirannya ketika pada suatu hari dilihatnya sebatang kayu yang mengapung di sungai. Raja memungut upeti dari Si Namora sesuai dengan adat berupa kepala ikan atau binatang apapun yang dapat dibunuh Si Namora.

Si Namora berputera tiga orang yang beristrikan ketiga puteri Alang Pardosi. Akhirnya yang sulung dari ketiga putera Si Namora yaitu Si Purba, mengambil keputusan untuk mempermasalahkan hubungan antara kedua keluarga sebagai pemberi dan penerima upeti. Maksudnya itu dilaksanakan dengan mengakali Pardosi.

Untuk itu dia harus kembali ke kampung ayahnya di Toba; dia harus mengumpulkan kekayaan keluarga berupa kain dan pusaka. Lalu dari kain-kain itu Purba membuatkan patung seekor rusa yang rupanya bukan main hebatnya dan kepalanya dipersembahkan kepada Pardosi sebagai Upeti. Alang Pardosi begitu takut melihat persembahan tersebut dan membebaskan keluarga Si Purba dari ikatan memberi upeti.

Setelah Alang Pardosi diperdaya, dia mencium adanya gugatan mengenai kedudukannya sebagai raja. Perang meletus dan si Purba memakai penghianatan untuk mengusir Alang Pardosi dan mengambil alih pemukimannya di Si Pigembar. Sebuah kudeta terjadi. Alang Pardosi kemudian mendirikan pemerintahan “in exile” di Huta Ginjang, kota yang baru dibangunnya.

Namun ada pembalasan dari pihak raja yang terusir. Saat kepemimpinan Si Purba pemukiman dirundung kelaparan. Raja yang sah, Alang Pardosi, diminta kembali untuk mengobati keadaan. Namun dia menolak dan meminta supaya si Purba membuatkannya rumah di Gotting, sebuah bukit antara Pakkat ke Barus, bukit tersebut dibelah oleh sebuh jalan yang menyempit di antara dinding batu napal yang keras, sekita lima kilometer dari Pakkat menuju Barus, di atas sebuah jalan sehingga semua orang yang ingin melalui jalan tersebut harus lewat di bawah rumahnya. Kedudukannya di persimpangan jalan-jalan penting memberi kekuasaan besar kepada Alang Pardosi yang menjadi raja yang paling berkuasa dari raja-raja Negeri Batak. Si Purba, kemudian, tinggal di tanah yang dibuka ayahnya yaitu Tanah Rambe atau Pakkat.

Jadi dalam kronik, Raja Alang Pardosi dengan demikian ditentukan sebagai pendiri garis keturunan baru. Proses ini berlanjut terus seusai dia wafat. Kedua anaknya, dari istri kedua puteri Aceh; Pucara Duan Pardosi dan Guru Marsakot Pardosi berpisah dan pindah ke arah yang berlainan supaya tidak bertikai.

Pucara Duan tinggal pindah ke arah pantai dan menetap di daerah Tukka yang pada abad ke-19 merupakan pusat besar untuk penghimpunan persediaan kapur barus dan kemenyan dan dari sana dibawa ke Barus.

Guru Marsakot pindah lebih dekat lagi ke tepi laut, ke suatu tempat yang dinamakan Lobu Tua. Di sana dia berjumpa dengan komunitas Tamil dan Hindu yang kapalnya terdampar. Guru Marsakot dijadikan raja mereka berdasarkan tuntunanya bahwa keluarganya mempunyai tanah tersebut. Maka tanah tersebut berkembang menjadi negeri yang makmur dengan nama Pancur atau Fansur menurut istilah Arab dikenal juga bernama Fanfur, yang didatangi orang India, Arab dan Aceh untuk berdagang.

Kedua cabang keluarga tersebut tetap berhubungan sampai dalam generasi berikutnya. Maka ketika anak Pucaro Duan, Raja Tutung (Raja Tuktung), terlibat dalam perselisihan dengan anak dan pengganti Si Purba, cabang keluarga dari Lobu Tua datang membantunya.

Saat Guru Marsakot wafat, ia digantikan oleh anaknya, Tuan Namura Raja. Anaknya, Raja Kadir, adalah raja pertama yang menjadi Muslim. Akhirnya Fansur diserang oleh orang “Gergasi” dan penduduk lari menyeberangi sungai untuk mendirikan dua pemukiman baru, Kuala Barus dan Kota Beriang.

Pada masa inilah, seorang putera Pasaribu, Sultan Ibrahimsyah Pasaribu mendirikan pemukiman di Barus bersama pengikutnya yang datang dari negeri Tarusan, di Minangkabau dan singgah terlebih dahulu di Bakkara. Mereka adalah keturuna Dinasti Hatorusan yang didirikan oleh Raja Uti, putera Tatea Bulan. Saat pemukiman Sultan Ibrahimsyah telah berkembang, dia baru menyadari bahwa tanah tersebut sudah ada yang menguasainya.

Anak dari Sultan Mualif, pengganti Raja Kadir setelah wafat, Sultan Marah Pangsu Pardosi, menggugat Ibrahimsyah yang menetap di negerinya. Namun Ibrahimsyah mengangkat sumpah untuk membuktikan bahwa dialah yang menjadi pemiliknya. Kompromipun terjadi dan didirikan dua pemukian di barus, yang satu di Hulu dan yang lain di Hilir.

Sultan Ibrahimsyah kemudian menikah dengan Putri Sultan Marah Pangsu. Dalam perkembangan politik berikutnya, saat wafatnya Sultan Marah Pangsu, Ibrahimsyah membunuh semua anak laki-laki Marah Pangsu agar dia bisa menjadi satu-satunya raja di Barus.

Ternyata otoritas kerajaan hulu dipegang oleh saudara Marah Pangsu yaitu Sultan Marah Sifat yang telah mengungsi dan membuka wilayah baru bernama Si Antomas (Manduamas?) pada tahun 710 Hijriyah. Marah Sifat berkoalisi dengan Aceh untuk memerangi Ibrahimsyah Pasaribu. Sultan Aceh menyatakan perang kepda penguasa tunggal Barus, Ibrahimsyahpun dipenggal dalam sebuah perang penyerbuan ke Barus pada tahun 785 Hijriyah.

Kepalanya dibawa ke Aceh dan Raja Aceh menendang dan menghinanya. Sebagai akibat perlakukan Ibrahimsyah yang marah dan tidak mau menyesal. Namun, karma terjadi kepara penguasa Aceh tersebut dan dia jatuh sakit. Supaya sembuh, dia memutuskan untuk membayar kerugian kepada kepala tersebut.

Kepala Sultan Ibrahimsyah dikirim kembali ke Barus dengan kekhidmatan dan upacara kerajaan, diiringi sepucuk surat yang membebaskan Barus dari keharusan membayar upeti kepada Aceh.

Sesudah itu kedua keluarga raja Barus; Pardosi dan Pasaribu, hidup berdampingan selaman beberapa generasi dalam hubungan yang kurang lancar. Marah Sifat digantikan oleh anaknya Raja Bongsu, Sultan Marah Bongsu. Ibrahimsyah digantikan oleh Sultan Yusuf dengan gelar Raja Uti yang kemudian gugur di Aceh ketika membalas dendam atas kematian ayahnya. Dia digantikan oleh Sultan Alam Syah yang mempunyai dia anak Raja Marah Sultan dan Sultan Nan Bagonjong Pasaribu.

Pada masa ini peraturan dan undang-undang negara dikodifikasi. Termasuk adat dan tatacara upacara dan pengangkatan pembesar. Hukum dan undang-undang yang berlaku adalah perpaduan adat Batak, adat Melayu, adat Aceh, adat Hindu dan adat orang Islam. Lebih jelas mengenai detail undang-undang tersebut lihat naskah asli dari hikayat tersebut.

Pada tahun 1050 Hijriyah atau atahun 1644 M, Belanda datang dan meminta ijin untuk bermukim dan mendirikan koloni perdagangan di Barus.

Kronik dalam buku hikayat ini juga menceritakan bahwa kepemimpinan raja-raja belia dari hulu dengan bendahara (perdana menteri) berasal dari hilir selama mereka belum akil balig.

Yang pertama dari bendahara itu ialah Marah Sultan, wali untuk anak Maharaja Bongsu, Raja Kecil. Sultan Maharaja Bongsu sendiri pada tahun 1054 Hijriyah berhasil memakmurkan negerinya dengan berbagai kebijakan politiknya. Pada waktu itu Marah Sultan beristrikan saudari Raja Kecil. Sesudah Marah Sultan wafat, anaknya, Sultan Marah Sihat, memfitnah Raja Kecil; kepada Daulat, raja Minang, diceritakan bahwa Raja Kecil tidak mengenal agama dan tidak mau mematuhi peraturan yang sudah ditetapkan. Termakan oleh fitnah jahat tersebut, Daulat membunuh Raja Kecil. Pendukung Kesultanan Pardosi, yakni orang-orang marga Manullang mengajak Belanda untuk memerangi Raja Daulat. Dia akhirnya melarikan diri.

Meskipun demikian Sultan Marah Sihat menyarankan agar Raja Muda di Hulu Sultan Marah Pangkat Pardosi yang diangkat menjadi pengganti raja dan bukan anaknya sendiri yang bernama Sultan Larangan Pasaribu. Sultan Pangkat dianggapnya layak menjadi raja tunggal sebab dialah yang memegang pusaka-pusaka yang tepat.

Sultan Marah Pangkatpun diangkat menjadi raja pada tahun 1170 Hijriyah. Setelah dia wafat dia digantikan oleh putera mahkota Sultan Baginda Pardosi pada tahun 1213 Hijriyah. Di masa kepemimpinan Marah Pangkat, dia melakukan banyak pembaharuan politk dan hukum. Diantaranya, beberapa peraturan mengenai hak tanah, perbatasan kerajaan dan adat yang berlaku kepada rakyatnya di Barus.

Pada tahun 1194 Hijriyah, perusahaan Belanda hengkang dari Barus karena tumpur dan bangkrut. Beberapa tahun sebelum abad ke-20 mereka kembali lagi.

Raja di Hilir, Sultan Larangan marah dan kecewa dengan sikap ayahnya tersebut. Maka dia meninggalkan Barus dan menetap di Sorkam. Di sana dia menamakan diri Tuanku Bendahara meskipun dia tidak memegang tampuk pemerintahan.

Kompetisi kekuasaan antara penguasa Hulu dan Hilir yang digambarkan sebagai pertikaian Barus dan Sorkam berlangsung beberapa generasi. Di Barus, putera Sultan Marah Pangkat yakni Raja Adil, menggantikan ayahnya dan memperkukuh perjanjian-perjanjian yang ada antara Barus dan berbagai daerah Batak pedalaman. Raja Adil diangkat menjadi raja pada tahun 1213 Hijriyah (1789 M). Pada tahun 1241 H (1824 M) digantikan oleh anaknya sendiri Sultan Sailan Pardosi.

Di Sorkam sesudah Sultan Larangan wafat, saudaranya Sultan Kesyari Pasaribu mengadukan kepada komunitas Batak Pasaribu kedudukannya yang rendah, wewenangnya yang kurang besar dan alat kerajaan yang tidak boleh dipakainya. Dia berhasil, akhirnya dia diangkat menjadi Raja Bukit di Sorkam, meskipun raja Barus tidak mengakui otoritasnya.

Sultan Kesyari wafat dan digantikan oleh puteranya Sultan Main Alam. Dia terlibat perselisihan dengan kesultanan Pardosi, Sultan Sailan yang bergelar Tuanku Raja Barus. Tuanku Raja Barus tidak mengijinkan Sultan Main Alam Pasaribu untuk menggunakan alat-alat dan simbol-simbol kerajaan dalam pernikahannya.

Sultan Pasaribu ini meminta pertolongan politik dengan komunitas Meulaboh (Aceh) yang berdomisili dalam koloni mereka di Kota Kuala Gadang, Barus. Main Alam mendapatkan keinginanya saat dia diakui menjadi raja mereka dan memberinya gelar Tuanku Bendahara. Perang meletus. Antara Pasukan Pardosi dengan Pasukan Pasaribu yang didukung prajurit-prajurit Meulaboh dan Aceh dari Kuala Gadang. Dikisahkan, orang Meulaboh ternyata juga ingin mendapat pembagian kekuasaan di Barus.

Sultan Baginda Pardosi wafat pada tahun 1241 Hijriyah dan digantikan oleh Putera Sultan Sailan. Setelah Sultan Sailan wafat dia digantikan oleh putranya Sultan Limba Tua. Di era ini Belanda sudah mulai berkuasa. Mereka berhasil menduduki Barus dengan mengadu domba antara penguasa Hilir dan Hulu Barus yang selama beberapa generasi saling bunuh-bunuhan walau mereka sudah terikat tali perkawinan satu sama lain. Selama tiga generasi berikutnya Kesultanan Batak yang dipegang oleh Kesultanan Pardosi dari Tukka dan Kesultanan Pasaribu keturunan Kerajaan Hatorusan, Raja Uti, pun akhirnya punah. Kesultanan Pardosi berakhir ditangan generasi terakhir Sultan Marah Tulang yang menjadi raja pada tahun 1270 H atau sekitar tahun 1856.

Kesultanan Pardosi, mulai dari Raja Kadir Pardosi yang masuk agama Islam sampai generasi terakhir berasal dari satu keluarga dan pewarisan tahta yang dipegang oleh satu keluarga. Yaitu orang Batak yang berasal dari Tukka.


DINASTI SINAMBELA (SISINGAMNGARAJA)

SM Raja I adalah turunan dari Oloan dari marga Sinambela. Dinasti SM Raja adalah sebagai berikut:

1. Raja Sisingamangaraja I dengan nama asli Raja Mahkota atau Raja Manghuntal memerintah tahun 1540 s.d. 1550
2. SM Raja II, Raja Manjolong gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1595
3. SM Raja III, Raja Itubungna, 1595-1627
4. SM Raja IV, Tuan Sorimangaraja 1627-1667
5. SM Raja V, Raja Pallongos, 1667-1730
6. SM Raja VI, Raja Pangolbuk, 1730-1751
7. SM Raja VII, Ompu Tuan Lumbut, 1751-1771
8. SM Raja VIII, Ompu Sotaronggal, gelar Raja Bukit 1771-1788
9. SM Raja IX, Ompu Sohalompoan, Gelar Datu Muara Labu, 1788-1819
10. SM Raja X, Aman Julangga, Gelar Ompu Tuan Na Bolon, 1819-1841
11. SM Raja XI, Ompu Sohahuaon, 1841-1871
12. SM Raja XII, Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu, 1871-1907

Raja Uti VII bernama Datu Mambang Di Atas, memerintah kerajaan Hatorusan di tanah Batak pesisir. Selama pemerintahan Raja Uti VII yang berkedudukan di Aceh (Singkil sekitarnya), berbagai pemberontakan dari dalam negeri meningkat.

Gerakan oposisi tersebut bermaksud untuk mengkudeta Raja. Kekuatan pemberontak terdapat di pedalaman Batak disebutkan dari marga Manullang. Kerajaan memang sudah mengalami kegoncangan setelah sebelumnya beberapa kerajaan kecil yang menjadi subordinat telah memilih memisahkan diri, khususnya mereka yang di wilayah timur kerajaan (Sumatera Timur).

Sang Raja Uti VII mempunyai beberapa panglima di antaranya seorang panglima yang sangat tangguh yang juga kebetulan adalah kemenakannya sendiri. Putra dari seorang saudari perempuannya, Boru Pasaribu. Dia bernama Mahkuta alias Mahkota yang dikenal di kalangan Batak dengan sebutan Manghuntal putra seorang ayah bermarga Sinambela dari pusat Batak. Dia dididik di istana kerajaan dan menjadi Panglima yang menguasai matra Angkatan Darat dan Laut.

Panglima tersebut yang diangkat sebagai putra mahkota kerajaan dikenal juga sebagai Manghuntal karena proses kelahirannya yang persis saat badai dan gempa melanda Bakkara, sebuah kota di pedalaman Batak.

Ayahnya marga Sinambela, merupakan seorang intelektual lokal, Datu Sinambela, yang menguasasi berbagai disiplin ilmu astronomi, hukum dan undang-undang adat dll, dan ibunya boru Pasaribu merupakan elit di kota tersebut. Sinambela merupakan raja huta di daerah tersebut. Keanehan terjadi ketika Boru Pasaribu mengandung Manghuntal selama bertahun-tahun. Tidak seperti normalnya bayi selama sembilan bulan. Suaminya kemudian menghubungi seorang Datu dan diketahui bahwa ada keajaiban pada jabang bayi, dan akan melahirkan setelah empat tahun. Empat tahun kemudian, sang bayi dilahirkan pada saat angin topan dan gempa bumi terjadi di huta tersebut. Dia kemudian dinamakan Manguntal atau yang bergetar. Dia kemudian dibesarkan di istana Raja Uti VII.

Ketika Portugis pertama sekali menyerang Kerajaan Hatorusan, Panglima Mahkuta atau Manghuntal memimpin bala tentaranya dan memenangkan peperangan tersebut.

Mahkuta kemudian diperintahkan untuk menumpas pemberontakan di sentral Batak. Dalam usahanya menumpas pemberontak, di ibukota kerajaan terjadi kudeta dan perebutan kekuaraan. Praktis Dinasti Uti pun berakhir dan lenyap. Pusat Kerajaan Hatorusan di Aceh diperkirakan berakuisisi dengan Kesultanan Aceh. Di Singkil sampai sekarang masih terdapat kelompok-kelompok keturunan Batak.

Mahkuta yang kemudian mendengar berita tersebut tidak senang dengan perubahan politik ini. Apalagi dia mendapat berita bahwa tahta kerajaan Batak telah diberikan kepadanya. Setelah berhasil menumpas pemberontakan di tanah Batak, dia memilih untuk mendirikan kerajaan baru di wilayah tersebut dengan ibukota Bakkara, tempat muasal leluhurnya.

Transfer kedaulatan Batak dimanifestasikan dalam tujuh simbol kerajaan yang diberikan kepada Manghuntal. Ketujuh simbol tersebut adalah pisau (knife), spear (tombak), sorban atau surban (turban), ikat-scarf, mat (sejenis lapik), jug (kendi) dan gajah putih. Legenda gajah putih ini sebagai lambang kebesaran Raja-raja Uti juga terkenal sampai ke Aceh. Legenda tersebut sekarang ini diabadikan menjadi nama sebuah universitas: Universitas Gajah Putih di Takengon.

Mahkuta menjadi raja pertama dengan gelar Sisingamangaraja I (SM Raja) pada tahun 1540 Masehi. Sebagai seorang bermarga Sinambela dari Toga Sumba, berbeda dengan Raja Uti yang Pasaribu dari Kubu Tatea Bulan, Mahkuta sebenarnya telah memulai sebuah dinasti baru yakni dinasti SM Raja yang memerintah Batak sampai SM Raja XII. Walaupun begitu, sebagai pendiri spiritual Batak, Raja Uti dan keturunanya, sampai abad ke-20, masih dimuliakan dan mendapat tempat terhormat dalam doa-doa. Bila Dinasti SM Raja mendapat kesulitan dalam urusan dalam negerinya, perwakilan dari keturunan Raja-raja Uti kerap dihadirkan untuk menjadi penengah.

Raja SM Raja XII, sebagai penghargaan terhadap usahanya mengusir si Bottar Mata, penjajah Belanda, dianugerahi Pahlawan Nasional Indonesia dengan keputusan Presiden RI No. 590 Tanggal 9 November 1961.

Peta politik di masyarakat terpecah dua. Kompetisi dan persaingan antara dua kubu Batak; Kubu Sumba dan Tatea Bulan. Kubu Tatea Bulan sebagai tertua dan banyak keturunannya menjadi raja-raja di luar pedalaman Batak.

Raja Manghuntal atau Raja Mahkota bergelar Sisingamangaraja I memerintah sentral Tanah Batak selama 10 tahun menurut stempel (cap kerajaan) yang bertahun 947 H dan berakhir dalam tahun 957 Hijriyah atau dalam tahun 1540 s.d 1550 M. (Diambil dari informasi L. van Vuuren, Samosir en de Pakpaklanden, Nota 1907).

Manghuntal mulai menata kembali kehidupan masyarakat. Untuk mengakomodasi berbagai kepentingan dan pertikaian antar kelompok masyarakat, dia berkoalisi dengan dengan tetua di Bakkara. Mereka, yang menjadi perwakilan tersebut diangkat sebagai anggota kabinet di pemerintahan, adalah raja-raja dari si Onom Ompu; Kelompok Bakkara, Sihite, Simanullang, Sinambela, Simamora dan Marbun.

Masing-masing keluarga ini didelegasikan beberapa wewenang. Setiap mereka diberi simbol kerajaan berupa barang pusaka yang didapat Manghuntal dari Kerajaan Hatorusan (Raja Uti VII).

Di samping itu, di juga melakukan distribusi kerja yang jelas kepada para pembantunya; di antaranya lembaga Pande Na Bolon yang bertugas sebagai penasehat dan juga sebagai fasilitator antar daerah di dalam kerajaan. Jabatan bendahara kerajaan diberikan kepada marga Sihite. Untuk mengikat semua daerah kekuasaan dalam satu kesatuan yang utuh, dia melakukan berbagai pendekatan antara lain secara spiritual dengan membawa air dan tanah dari Bakkara.

Target pertamanya adalah dengan merangkul Humbang. Humbang merupakan daerah paling Barat kerajaan yang berpopulasi keturunan raja Sumba, sama dengan Manghuntal. Mereka itu berasal dari marga Sihombing dan Simamora. Di sana dia mengangkat dua perwakilannya; dalam institusi Raja Parbaringin, yaitu dari marga Simamora dan Hutasoit (Putra sulung Sihombing).

Dari Humbang dia pergi ke Silindung. Dia mengangkat raja na opat untuk daerah ini. Perbedaan institusi perwakilannya tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan geografis dan politik saat itu. Hal yang sama dia melakukannya untuk daerah-daerah yang lain. Satu institusi lainnya adalah panglima wilayah. Sebuah daerah yang damai atau homogen akan berbeda dengan huta yang plural. Begitu juga daerah yang berbatasan langsung dengan luar kerajaan dengan yang berada di pusat kerajaan mendapat perwakilan yang berbeda.

Insting kepemimpinan yang dia warisi selama masih dididik di istama Raja-raja Uti membuatnya memahami betul langkah-langkh politik yang sesuai dengan karakter sebuah huta. Sikap ini dengan cepat dapat menyatukan masyarakat Batak yang berbeda-beda marga dan kepentingan hutanya. Egoisme, primordialisme huta dan fanatisme marga serta kebiasaan bertengkar orang-orang Batak ditundukkan dengan harmoni dan kebersamaan.

Selain di bidang politik, Manghuntal juga mendapat sambutan yang positif dari masyarakat. Masa kecil Manghuntal di Bakkara sebelum dididik di Istana Raja Uti VII yang baik sangat diingat oleh penduduk sebagai orang yang baik hati, tegas, suka menjauhi perbudakan, membayar utang orang-orang yang tidak mampu dan lain sebagainya membuat kharismanya menanjak.

Kewibawaan dan keharuman namanya menumbuhkan beberapa mitos di masyarakat mengenai pribadinya. Tidak diketahui siapa yang membuat mitos tersebut, tapi yang pasti pembuatnya adalah pengagum kepribadian Manghuntal. Beberapa mitos tersebut adalah:

Divine dan Holy; SM Raja dan keturunanya dianggap sebagai seorang yang mempunyai sifat ketuhanan dan suci. Dia juga dianggap sebagai maha sakti dan mempunyai banyak kelebihan.

Immortalitas juga disandingkan kepadanya sebagai raja yang "yang tidak pernah mati dan tua"-na so olo mate na so olo matua

Omniscient; Orang Batak percaya bahwa SM Raja mengetahui semua hal yang dikatakan dan dilakukan. Mempunyai sahala yang tinggi. Sahala yang dimaksud adalah kekuatan untuk menunjukkan kemampuan yang tinggi.

Manghuntal memerintah tidak dalam waktu lama. Sebelum putra mahkotanya, Manjolong, berumur dewasa, masih berusia 12 tahun, Manghuntal dikabarkan menghilang dan tidak pernah kembali lagi.


DINASTI SINAMBELA (Guru Patimpus di Medan)

Pada tahun 1540 M, Mahkuta atau Manghuntal yang menjadi Panglima di Kerajaan Hatorusan yang berpusat di Barus dan Singkel--ditugaskan menumpas pemberontakan di pedalaman Batak, setelah sebelumnya berhasil mengusir Portugis dari perairan Singkel, memerintah di tanah Batak sebagai Sisingamangaraja I. Kedaulatannya ditransfer oleh Raja Uti VII yang kehilangan kekuasaannya.

Pemerintahan Sisingamangaraja I, hanya berlangsung sepuluh tahun. Sebelum putra mahkotanya, Manjolong, berumur dewasa, masih 12 tahun, Manghuntal dikabarkan menghilang dan tidak pernah kembali lagi.

Orang-orang Bakkara dan lingkungan Istana percaya bahwa Sisingamangaraja menghilang diambil Mulajadi Nabolon ke langit atau menganggapnya sebagai kejadian gaib. Manjolong akhirnya diangkat menjadi Sisingamangaraja II.

Belakangan dari kitab-kitab kuno bangsa Batak Karo diketahui bahwa Sisingamangaraja I ternyata berada di tanah Karo paska menghilangnya raja dari Bakkara. Tidak disebutkan sebab-sebab migrasi Sisingamangaraja. Apakah dia frustasi dengan keadaan rakyatnya yang terus bertikai dan bertengkar, walau sudah dibujuk untuk damai dengan benda-benda pusaka Raja-raja Uti, tidak diketahui dengan pasti.

Tapi melihat riwayat-riwayat budi pekerti sosok Sisingamangaraja I yang anti- perbudakan, anti-rentenir sehingga selalu membayar utang para rakyat yang terlilit hutang dan lain sebagainya, membuatnya banyak memiliki musuh dari elit-elit yang suka mengeksploitasi rakyat. Permusuhan itu, tidak saja dari lingkungan istana tapi bahkan dari kerabatnya sendiri, misalnya namborunya, yang tidak menyukai kebijakannya tersebut.

Paska kepindahannya ke tanah Karo salah satu cucunya yang bernama Guru Patimpus mendirikan huta yang sekarang menjadi Ibukota Provinsi Sumatera Utara.

Nama medan merupakan sebuah desa yang dibangun oleh Guru Patimpus. Desa tersebut yang berfungsi sebagai ‘onan’ tempat berkumpulnya orang-orang dari berbagai penjuru untuk tujuan ekonomi, politik dan sosial. Onan itu berada di sebuah lapangan besar di mana diatasnya keramaian orang melakukan transaksi. Orang-orang Arab yang melihat peristiwa itu menyebut lapangan tersebut sebagai Maidan, lapangan luas, yang akhirnya menjadi Medan dalam lidah melayu.

Nama Medan dikenal berbeda-beda dalam sejarah, sesuai dengan perubahan penguasa atas kawasan ini. Kesultanan Haru, terdiri dari orang Karo yang menjadi prajurit Aceh, pernah menguasasinya dan medan lebih dikenal dengan Haru. Dominasi orang Haru diruntuhkan oleh orang Aceh dan mengangkat orang melayu menjadi pemimpin di daerah tersebut. Maka kemudian dikenal juga nama Ghuri dan Deli di tangan orang Melayu yang diangkat oleh Aceh dan dipengaruhi oleh budaya India Dehli sekarang dikenal Delhi.

Menurut riwayat Hamparan Perak salah seorang putera dari Sisingamangaraja bernama Tuan Si Raja Hita mempunyai seorang anak bernama Guru Patimpus pergi merantau ke beberapa tempat di Tanah Karo dan merajakan anak-anaknya di kampung–kampung: Kuluhu, Paropa, Batu, Liang Tanah, Tongging, Aji Jahe, Batu Karang, Purbaji, dan Durian Kerajaan. Kemudian Guru Patimpus turun ke Sungai Sikambing dan bertemu dengan Datuk Kota Bangun.

Menurut Datuk Bueng yang tinggal di Jl. Kertas Medan dia mempunyai dokumen tua dalam bentuk lempeng–lempeng. Menurut trombo yang ada padanya Raja–raja 12 Kuta (Hamparan Perak) adalah :

Dinasti Sisingamangaraja I, setelah menghilang dari Bakkara.

1. Sisingamangaraja, bernama aseli Mahkuta alias Manghuntal. Lahir di Bakkara, dibesarkan di Istana Raja Uti VII (Pasaribu Hatorusan) di Singkel, menjadi raja Batak di Bakkara paska menumpas pemberontakan memerintah di tahun 1540-1550 M. Mempunyai dua anak, yang pertama adalah Manjolong, menjadi Sisingamangaraja II di Bakkaara dengan gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1595 dan yang kedua adalah:
2. Tuan Siraja Hita, Di sana ia memperoleh tiga orang anak. Anak yang nomor dua menjadi raja di Kerajaan Pekan. Yang bungsu menjadi raja di Kerajaan Balige, Toba dan yang tertua bernama Patimpus alias Guru Patimpus.
3. Guru Patimpus, masuk Islam dan pada tanggal 1 Juli 1590, mendirikan kota Medan. Puteranya adalah, (1) Benara, Raja di Benara (2) Kuluhu, Raja di Keluhu (3) Batu, pendiri kerajaan Batu, (4) Salahan, Raja di Salahan (5) Paropa, Raja di Paropa (6) Liang, Raja di Liang Tanah (7) Seorang gadis yang menikah dengan Raja Tangging (Tingging) (8) Janda yang menetap di Aji Jahe (9) Si Gelit (Bagelit), Raja di Kerajaan Karo Islam Sukapiring, daerah antara Medan sampai ke pegunungan Karo (10) Raja Aji, yang menjadi perbapaan Perbaji, (11) Raja Hita yang menjadi raja di Durian Kerajaan, Langkat Hulu (12) Hafidz Tua dengan panggilannya Kolok, tidak menjadi raja tapi ulama dan Hafidz Muda dengan panggilannya Kecik yang menjadi pengganti Guru Patimpus di Kerajaan Medan.
4. Raja Hafidz Muda
5. Raja Muhammadsyah putera Hafidz Muda, makamnya terletak di dekat makam puteranya Masannah, daerah Petisah Medan. Mempunyai tiga putera. Yang pertama adalah Masannah yang dikenal dengan Datuk Saudagar, dia menetap di Pulau Bening dan keturunannya berada di sana. Makamnya di samping makam ayahnya Muhammadsyah yang disebut 'Makam Melintang', anak yang kedua adalah Pangeran Ahmad yang keturunanya menetap di Petisah, Medan dan yang ketiga adalah Raja Mahmud yang menjadi pengganti Raja Muhammadsyah. Saat ini pusat kerajaan yang meliputi 2/3 dari kerajaan Patimpus dipindahkan ke Terjuan. Dia dimakamkan di sana. Raja Muhammadsyah memperlua kerajaan ke kawasan baru yang bernama Kuala Bekala dan Terjun. Kedua daerah ini kemudian disebut Marhom Muhammadsyah Darat.
6. Raja Mahmud putera Muhammadsyah, mempunyai dua putera mahkota. Pertama Pangeran Ali dan yang kedua Pangeran Zainal yang memilih tinggal di Klambir Tunggal dan kuburannya ada di sana.
7. Raja Ali putera Mahmud, memindahkan ibukota ke kawasan Buluh Cina. Kerajaan mulai makmur dengan perdagangan. Penghasilan kerajaan berasal dari ekspor lada besar-besaran ke Penang/Melaka. Mempunyai satu putera mahkota, Banu Hasyim dan satu puteri, Bujang Semba yang menikah dengan Sultan Panglima Mangedar Alam dari Kesultanan Deli. Masuknya pengaruh kekuatan Aceh dan orang-orang melayu yang berciri khas India Dehli. Kesultanan Deli sendiri didirikan oleh Sri Paduka Gocah Pahlawan Laksamana Khoja Bintan.
8. Raja Banu Hasyim putera Ali, menikah dengan puteri Manyak, kakak dari Datuk Sunggal Amar Laut. Dia memperluas kerajaan sampai ke kawasan Kampung Buluh. Mempunyai tiga anak. Pertama adalah Sultan Sri Ahmad, yang kedua adalah Sri Kemala, puteri yang menikah dengan Sultan Osman I dari Kesultanan Deli dan yang ketiga adalah Sri Hanum, seorang puteri yang menikah dengan Pangeran Kesultanan Langkat, Musa.
9. Sultan Sri Ahmad putera Banu Hasyim. Pusat kerajaan di pindahkan ke Pangkalan Buluh. Kerajaan Karo Islam mulai tergeser karena menguatnya Kesultanan Deli yang didukung oleh pihak Imperium Kesultanan Aceh. Sultan pernah menerima tamu bernama John Anderson pada tahun 1823. Kerajaan Islam Karo akhirnya takluk ke Kesultanan Deli dan Sultan akhirnya masuk menjadi pembesar Kesultanan Deli yang bergelar Datuk Panglima Setia Raja Wazir XII-Kota. Pemerintahannya di bawah Kesultanan Deli akhirnya dipindahkan ke Hamparan Perak. Dia meninggal dalam usia 119 tahun
10. Datuk Adil
11. Datuk Gombak
12. Datuk Hafiz Harberhan
13. Datuk Syariful Azas Haberham. Riwayat Hamparan Perak ini pernah disalin ke dalam bahasa Belanda dalam "Nota Over De Landsgrooten van Deli", juga dalam "Begraafplaatsrapport Gementee Medan 1928"

Berdasarkan bahan–bahan dari Panitia Sejarah Kota Medan (1972) termasuk Landschap Urung XII Kuta, ini dapat dilihat dari trombo yang disalin dalam tulisan Batak Karo yang ditulis di atas kulit–kulit Alin. Trombo ini mengisahkan Guru Patimpus lahir di Aji Jahei. Dia mendengar kabar ada seorang datang dari Jawi (bahasa Jawi bahasa Pasai Aceh, kemudian dikenal dengan bahasa Melayu tulisan Arab. Orang yang datang dari Jawi itu adalah orang dari Pasai keturunan Said yang berdiam di kota Bangun. Orang itu sangat dihormati penduduk di Kota Bangun kemudian diangkat menjadi Datuk Kota Bangun yang dikenal sangat tinggi ilmunya. Banyak sekali perbuatannya yang dinilai ajaib-ajaib.

Guru Patimpus sangat ingin berjumpa dengan Datuk Kota Bangun untuk mengadu kekuatan ilmunya. Guru Patimpus beserta rakyatnya turun melalui Sungai Babura, akhirnya sampailah di Kuala Sungai Sikambing. Di tempat ini Guru Patimpus tinggal selama 3 bulan, kemudian pergi ke Kota Bangun untuk menjumpai Datok Kota Bangun. Konon ceritanya dalam mengadu kekuatan ilmu, siapa yang kalah harus mengikuti yang memang. Dalam adu kekuatan ini, berkat bantuan Allah SWT Guru Patimpus kalah dan dia memeluk agama Islam, sebelumnya beragama Perbegu.

Dia belajar agama Islam dari Datuk Kota Bangun. Dia selalu pergi dan kembali ke Kuala Sungai Sikambing pergi ke gunung dan ke Kota Bangun melewati Pulo Berayan yang waktu itu di bawah kekuasaan Raja Marga Tarigan keturunan Panglima Hali. Dalam persinggahan di Pulo Berayan, rupanya Guru Patimpus terpikat hatinya kepada puteri Raja Pulo Berayan yang cantik. Akhirnya kawin dengan puteri Raja Pulau Berayan itu, kemudian mereka pindah dan membuka hutan kemudian menjadi Kampung Medan. Setelah menikah, Patimpus dan istrinya membuka kawasan hutan antara Sungai Deli dan Sungai Babura yang kemudian menjadi Kampung Medan. Tanggal kejadian ini biasanya disebut sebagai 1 Juli 1590, yang kini diperingati sebagai hari jadi kota Medan.

Putera Guru Patimpus Hafal Al-Qur'an

Dari perkawinan dengan puteri Raja Pulo Berayan lahirlah dua orang anak lelaki, seorang bernama Kolok dan seorang lagi bernama Kecik. Kedua putera Guru Patimpus ini pergi ke Aceh untuk belajar agama Islam. Kedua putera Guru Patimpus ini hafal Al Qur'an, karena itu Raja Aceh memberi nama untuk yang tua Kolok Hafiz, dan adiknya Kecik Hafiz.

Menurut trombo yang ditulis dalam bahasa Batak Karo di atas kulit Alin itu, Hafiz Muda kemudian menggantikan orang tuanya Guru Patimpus, menjadi Raja XII Kuta. Putera Guru Patimpus dari ibu yang lain bernama Bagelit turun dari gunung menuntut hak dari ayahandanya yaitu daerah XII Kuta. Setelah puteranya Bagelit memeluk agama Islam daerah XII Kuta yang batasnya dari laut sampai ke gunung dibagi dua. Kepada Bagelit diberi kekuasaan dari Kampung Medan sampai ke gunung. Akhirnya kekuasaan Bagelit dikenal dengan Orung Sukapiring. Sedangkan Hafiz Muda tetap menjadi Raja XII Kuta berkedudukan di Kampung Medan. Waktu itu Medan adalah sekitar Jalan Sungai Deli sampai Sei Sikambing (Petisah Kampung Silalas). Guru Patimpus dan puteranya Hafiz Muda yang menjadikan Kampung Medan sebagai pusat pemerintahannya.

Menurut trombo dan riwayat Hamparan Perak (XII Kuta) Guru Patimpus belajar agama Islam pada Datuk Kota Bangun. Menurut catatan sejarah Datuk Kota Bangun adalah seorang ulama besar, tapi tidak disebut namanya. Apakah Datuk Kota Bangun itu adalah Imam Siddik bin Abdullah yang meninggal 22 Juni 1590? Pertanyaan ini barang kali ahli sejarah dapat menjawabnya. Di masa dulu ulama–ulama besar lebih dikenal dengan menyebut nama tempat ulama itu berdomisili.

Menurut Prof. J.P. Moquette dan Tengku Luckman Sinar, SH, makam Imam Siddik bin Abdullah terdapat di Perkebunan Klumpang. Pada batu nisannya tertulis ulama dari Aceh Imam Siddik bin Abdullah meninggal 23 Syakban 998H (22 Juni 1590)

BELANDA tercatat pertama kali masuk di Deli tahun 1641, ketika sebuah kapal yang dipimpin Arent Patter merapat untuk mengambil budak.

Selanjutnya, hubungan Deli dengan Belanda semakin mulus. Tahun 1863 Kapal Josephine yang membawa orang perkebunan tembakau dari Jawa Timur, salah satunya Jacobus Nienhuijs, dari Firma Van Den Arend Surabaya mendarat di Kesultanan Deli. Oleh Sultan Deli, ia diberi tanah 4.000 bau untuk kebun tembakau, dan mendapat konsesi 20 tahun. Begitulah awal cerita, yang berlanjut dengan masuknya ribuan tenaga kerja Cina, India, dan akhirnya Jawa untuk menggarap perkebunan-perkebunan Belanda.

Menurut bahasa Melayu, Medan berarti tempat berkumpul, karena sejak zaman kuno di situ sudah merupakan tempat bertemunya masyarakat dari hamparan Perak, Sukapiring, dan lainnya untuk berdagang, berjudi, dan sebagainya. Desa Medan dikelilingi berbagai desa lain seperti Kesawan, Binuang, Tebing Tinggi, dan Merbau.

Medan sebagai embrio sebuah kota, di era penjajahan Belanda, secara kronologis berawal dari peristiwa penting tahun 1918, yaitu saat Medan menjadi Gemeente (Kota Administratif), tetapi tanpa memiliki wali kota sehingga wilayah tersebut tetap di bawah kewenangan penguasa Hindia Belanda.

Kota Administratif Medan dibentuk melalui lembaga bernama "Komisi Pengelola Dana Kotamadya", yang dikenal dengan sebutan Negorijraad. Berdasarkan "Decentralisatie Wet Stbl 1903 No 329", lembaga lain dibentuk yaitu "Afdeelingsraad Van Deli" (Deli Division Council) yang berjalan bersama Negorijraad sampai dihapuskan tanggal 1 April 1909, ketika "Cultuuraad" (Cultivation Council) dibentuk untuk daerah di luar kota.

Maka, tanggal 1 April 1909 ini sempat dijadikan tanggal lahir Kota Medan sampai dengan tahun 1975.

Pimpinan Medan Municipal Board saat didirikan tanggal 1 April 1909 (Stblt 1909 No 180) adalah Mr EP Th Maier, yang menjabat sebagai pembantu Residen Deli Serdang.

Namun, sejak 26 Maret 1975, lewat Keputusan DPRD No 4/ DPRD/1975 yang didasari banyak pertimbangan, ditetapkan bahwa hari lahir Kota Medan adalah 1 Juli 1590.

Melihat sekilas sejarah Kota Medan, tampak bahwa sejak zaman kuno, zaman Kerajaan Haru, Medan sudah menjadi tempat pertemuan berbagai kultur bahkan ras seperti Karo, Melayu (Islam), India, Mandailing, dan Simalungun. Sebagaimana terlihat dalam paparan di atas, proses itu bukannya berkurang, bahkan semakin kompleks sejak dibukanya perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara yang menghadirkan kuli kontrak baik dari India, Cina, maupun Jawa.

Hingga saat ini, Medan, yang berarti tempat berkumpul tersebut, masih menjadi tempat berkumpul berbagai ras dan kultur yang berbeda-beda. Mengingat pengalamannya yang panjang sebagai melting pot, tidak heran jika hingga saat ini Medan masih dikenal sebagai daerah yang aman dari berbagai kerusuhan antaretnis. Semua ras dan etnis di sini tidak ada yang ingin menonjol atau saling menjatuhkan.

Dalam buku The History of Medan tulisan Tengku Luckman Sinar (1991), dituliskan bahwa menurut "Hikayat Aceh", Medan sebagai pelabuhan telah ada pada tahun 1590, dan sempat dihancurkan selama serangan Sultan Aceh Alauddin Saidi Mukammil kepada Raja Haru yang berkuasa di situ. Serangan serupa dilakukan Sultan Iskandar Muda tahun 1613, terhadap Kesultanan Deli.

Sejak akhir abad ke-16, nama Haru berubah menjadi Ghuri, dan akhirnya pada awal abad ke-17 menjadi Deli. Pertempuran terus-menerus antara Haru dengan Aceh mengakibatkan penduduk Haru jauh berkurang. Sebagai daerah taklukan, banyak warganya yang dipindahkan ke Aceh untuk dijadikan pekerja kasar.

Selain dengan Aceh, Kerajaan Haru yang makmur ini juga tercatat sering terlibat pertempuran dengan Kerajaan Melayu di Semenanjung Malaka. Juga dengan kerajaan dari Jawa. Serangan dari Pulau Jawa ini antara lain tercatat dalam kitab Pararaton yang dikenal dengan Ekspedisi Pamalayu.

Dalam Negarakertagama, Mpu Prapanca juga menuliskan bahwa selain Pane (Panai), Majapahit juga menaklukkan Kampe (Kampai) dan Harw (Haru).

Berkurangnya penduduk daerah pantai timur Sumatera akibat berbagai perang ini, lalu diikuti dengan mulai mengalirnya suku-suku dari dataran tinggi pedalaman Sumatera. Suku Karo yang bermigrasi ke daerah pantai Langkat, Serdang, dan Deli. Suku Simalungun ke daerah pantai Batubara dan Asahan, serta suku Mandailing ke daerah pantai Kualuh, Kota Pinang, Panai, dan Bilah.

Asal kata Deli untuk Kota Medan

Menurut Hikayat Deli, seorang anak raja satu kerajaan di India yang bernama Muhammad Dalik, perahunya tenggelam di dekat Kuala Pasai sehingga ia terdampar di Pasai, daerah Aceh sekarang.

Tidak lama sesudah ia datang di Aceh, Sultan Aceh mengalami kesulitan untuk menaklukkan tujuh laki-laki dari Kekaisaran Romawi Timur yang membikin kekacauan. Dalik berhasil membunuh para pengacau tersebut satu persatu.

Sebagai penghargaan atas keberhasilannya membunuh para pengacau tersebut, Sultan memberinya gelar Laksamana Kud Bintan dan menunjuknya sebagai Laksamana Aceh. Atas berbagai keberhasilannya dalam pertempuran akhirnya ia diangkat sebagai Gocah Pahlawan, pemimpin para pemuka Aceh dan raja-raja taklukan Aceh.

Beberapa tahun kemudian, Dalik meninggalkan Aceh dan membuka negeri baru di Sungai Lalang-Percut. Posisinya di daerah baru adalah sebagai wakil Sultan Aceh di wilayah bekas Kerajaan Haru (dari batas Tamiang sampai Sungai Rokan Pasir Ayam Denak) dengan misi, menghancurkan sisa-sisa pemberontak Haru yang didukung Portugis, menyebarkan Islam hingga ke dataran tinggi, serta mengorganisir administrasi sebagai bagian dari Kesultanan Aceh.

Untuk memperkuat posisinya ia menikahi adik Raja Sunggal (Datuk Itam Surbakti) yang bernama Puteri Nang Baluan Beru Surbakti, sekitar 1632 M.

Pengganti Gocah, anaknya yang bernama Tuanku Panglima Perunggit pada tahun 1669 M, memproklamasikan berdirinya Kesultanan Deli, di dalamnya termasuk kota Medan, yang terpisah dari Aceh, serta mulai membangun relasi dengan Belanda di Malaka.

Berdirinya Kesultanan Deli ini juga salah satu sebab mengapa Medan kemudian disebut Deli. Nama Deli sesungguhnya muncul dalam "Daghregister" VOC di Malaka sejak April 1641, yang dituliskan sebagai Dilley, Dilly, Delli, atau Delhi. Mengingat asal Gocah Pahlawan dari India, ada kemungkinan nama Deli itu berasal dari Delhi, nama kota di India.




DINASTI NAGUR (Simalungun & Gayo)

Pada tahun 600-1200 M, Komunitas Batak di Simalungun memberontak dan memisahkan diri dari Dinasti Batak, Dinasti Sorimangaraja di pusat. Mereka mendirikan kerajaan Nagur. Mereka ini keturunan Batak yang bermukim di Tomok, Ambarita dan Simanindo di Pulau Samosir. Di kemudian hari kerajaan Nagur berada di tangan orang Batak Gayo yang mendirikan kerajaan Islam Aceh.

Simalungun merupakan tanah yang subur akibat bekas siraman lava. Siraman lava dan marga tersebut berasal dari ledakan gunung berapi terbesar di dunia, di zaman pra sejarah. Ledakan itu membentuk danau Toba. Orang Simalungun berhasil membudidayakan tanaman, selain padi yang menjadi tanaman kesukaan orang Batak; Pohon Karet.

Hasil-hasil pohon karet tersebut mengundang kedatangan ras Mongoloid lainnya yang mengusir mereka dari daratan benua Asia; orang-orang Cina yang sudah pintar berperahu pada zaman Dinasti Swi, 570-620 M. Di antaranya Bangsa Yunnan yang sangat ramah dan banyak beradaptasi dengan pribumi dan suku bangsa Hokkian, suku bangsa yang dikucilkan di Cina daratan, yang mengekspor tabiat jahat dan menjadi bajak laut di Lautan Cina Selatan.

Kolaborasi dengan bangsa Cina tersebut membentuk kembali kebudayaan maritim di masyarakat setempat. Mereka mendirikan kota pelabuhan Sang Pang To di tepi sungai Bah Bolon lebih kurang tiga kilometer dari kota Perdagangan. Orang-orang dari Dinasti Swi tersebut meninggalkan batu-batu bersurat di pedalaman Simalungun.

Terdapat banyak kerajaan di Simalungun dengan dinasti-dinasti masing-masing. Contohnya adalah Dinasti Damanik dan lain sebagainya. Tapi secara umum kerajaan Nagur adalah yang paling awal eksis di Simalungun.

Kerajaan Nagur pernah dihancurkan oleh orang-orang Batak Karo yang mendirikan kerajaan Haru Wampu pada tahun 1200-1508 M. Namun, kerajaan Nagur tetap eksis di hulu sungai Pasai antara tahun 1200-1285. Marah Silu, Raja huta Kerajaan Nagur saat itu masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Malik Al Shaleh. Di atas puing-puing kerajaan Nagur tersebut, sang Raja, yang aseli Batak Gayo, berhasil melakukan ekspansi dan mendirikan Kerajaan Samudera Pasai sekaligus menjadikannya sebagai Sultan pertama.

Kerabat Sultan Malik Al Shaleh, yakni Syarif Hidayat Fatahillah merupakan tokoh yang mendirikan kota Jakarta dan menjadi Sultan Banten (Emeritus) dan ikut serta mendirikan Kesultanan Cirebon. Dia, yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, adalah tokoh yang berhasil menyelamatkan penduduk pribumi dari amukan bangsa Portugis.

Sultan Malik Al Shaleh sendiri lahir di Nagur, di tanah Batak Gayo. Dia adalah mantan prajurit Kesultanan Daya Pasai. Sebuah kerajaan yang berdiri di sisa-sisa kerajaan Nagur atau tanah Nagur. Nama lahirnya adalah Marah Silu. Marah berasal dari kata Meurah yang artinya ketua. Sedangkan Silu adalah marga Batak Gayo.

Sepeninggalannya (1285-1296) dia digantikan oleh anaknya Sultan Malik Al Tahir (1296-1327). Putranya yang lain Malik Al Mansyur pada tahun 1295 berkuasa di barumun dan mendirikan Kesultanan Aru Barumun pada tahun 1299.

Malik Al Mansyur sangat berbeda keyakinannya dengan keluarganya yang sunni. Dia adalah penganut taat syiah yang kemudian menjadikan kesultanannya sebagai daerah syiah. Dengan demikian dia dapat dijadikan sebagai tokoh Batak Syiah (Gayo).

Kekuasaan Kesultanan Aru Barumun terletak di sekitar area sungai Barumun yang menjadi titik penting perdagangan antara Padanglawas sampai Sungai Kampar. Penghasilan negara didapat dari ekspor dan impor merica dan lain sebagainya.

Kesultanan Aru barumun berhubungan baik dengan pihak Cina pada era Dinasti Ming (1368-1643). Pada periode 1405-1425 beberapa utusan dari Cina pernah singgah, di antaranya Laksamana Ceng Ho dan Laksamana Haji Kung Wu Ping.

Mengenai Kerajaan Lingga di tanah Batak Gayo, menurut M. Junus Djamil dalam bukunya "Gajah Putih" yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh tahun 1959, Kutaraja, mengatakan bahwa sekitar abad 11, Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-orang Batak Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda.

Raja Lingga I, yang menjadi keturunan langsung Batak, disebutkan mempunyai beberapa anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga, Meurah Johan dan Meurah Lingga, Meurah Silu dan Meurah Mege.

Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Batak leluhurnya tepatnya di Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.

Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.

Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.

DINASTI BATAK (LINGGA)

1. Raja Lingga I di Gayo
a. Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo. Menjadi Raja Karo
b. Raja Marah Johan (pendiri Kesultanan Lamuri)
c. Marah Silu (pendiri Kesultanan Samudera Pasai), dan
2. Raja Lingga II alias Marah Lingga di Gayo
3. Raja Lingga III-XII di Gayo
4. Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh, pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau (Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.

Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali diangkat raja-rajanya tapi hanya dua era
1. Raja Sendi Sibayak Lingga. (Pilihan Belanda)
2. Raja Kalilong Sibayak Lingga

Meurah Silu, yang menjadi prajurit kesultanan Daya, saat itu masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Iskandar Malik dengan gelar Sultan Malik al-Shaleh sebagai sultan pertama pribumi dan pendiri Samudera Pasai. Samudera Pasai berdiri di atas Kesultanan Daya yang dihancurkan oleh Laksamana Ismail al-Siddiq, panglima Dinasti Mamluk, Mesir, yang menggantikan Dinasti Fatimiyah pendukung Kesultanan Daya.

Dikatakan bahwa Kesultanan Pasai di tangan orang Batak Gayo yang kemudian menghancurkan Kerajaan Hindu Aceh, yang terdiri dari Batak-Mante dan imigran Hindu India, yang sudah melemah dengan tumbuhnya komunitas-komunitas muslim dengan kedaulatan sendiri-sendiri.

Sepeninggalan Malik al-Saleh (1285-1296) dia digantikan oleh anaknya Sultan Malik Al Tahir (1296-1327). Putranya yang lain Malik Al Mansyur pada tahun 1295 berkuasa di Barumun dan mendirikan Kesultanan Aru Barumun pada tahun 1299 dengan corak mazhab syiah.

DINASTI MARAH SILU (BATAK GAYO) DI SAMUDERA PASAI sebagai berikut:

1. Sultan Malik al-Saleh (1285-1296) ada yang bilang (1263-1297)
2. Sultan al-Abidin (1297-1320)
3. Sultan Malik al-Tahir (al-Zahir) (1296-1327) (1320-1383)
4. Sultan Zain al-Abidin (1383-1405), pernah diculik dan selama tiga tahun ditawan di Thailand (Siam)
5. Sultan Shaleh al-Din (1405-1412)
6. Ratu Nur Ilahi (1424-1461)
7. Sultan Muzafar Syah (1461-1497)
8. Sultan Ma'ruf Syah (1497-1511)
9. Sultan Abdullah (1511-1524). Lihat: J.I. Moens, "Rijken der Parfum en specerijen", BKI, 1955

Setelah tahun ini, Samudera Pasai mengalami kemunduran. Salah satu keturunan Marah Silu, Syarif Hidayat Fatahillah merantau ke Jawa, menjadi penyebar agama Islam mazhab syafii. Dia merupakan tokoh yang mendirikan kota Jakarta dan menjadi Sultan Banten (Emeritus) dan ikut serta mendirikan Kesultanan Cirebon. Dia, yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, adalah tokoh yang berhasil menyelamatkan penduduk pribumi dari amukan bangsa Portugis. Kesultanan Samudera Pasai merupakan kesultanan Islam yang pertama tumbuh dalam skala nasional dan sekaligus pelopor mazhab syafii di Nusantara.

DINASTI BATAK GAYO DI KESULTANAN BARUMUN adalah sebagai berikut:

1. Sultan Malik Al Mansyur putera Malik al-Saleh (1299-1322)
2. Sultan Hassan Al Gafur (1322-1336)
3. Sultan Firman Al Karim (1336-1361), pada era nya banyak bertikai dengan kekuatan imperialis Jawa Majapahit. Di bawah panglima Laksamana Hang Tuah dan Hang Lekir, pasukan marinir Aru Barumun berkali-kali membendung kekuatan Hindu Majapahit dari Jawa.
4. Sultan Sadik Al Quds (1361). Wafat akibat serangan jantung.
5. Sultan Alwi Al Musawwir (1361-1379)
6. Sultan Ridwan Al Hafidz (1379-1407). Banyak melakukan hubungan diplomatik dengan pihak Cina
7. Sultan Hussin Dzul Arsa yang bergelar Sultan Haji. Pada tahun 1409 dia ikut dalam rombongan kapal induk Laksamana Cengho mengunjungi Mekkah dan Peking di zaman Yung Lo. Dia terkenal dalam annals dari Cina pada era Dinasti Ming dengan nama “Adji Alasa” (A Dji A La Sa). Orang Batak yang paling dikenal di Cina.
8. Sultan Djafar Al Baki (1428-1459). Meninggal dalam pergulatan dengan seekor Harimau.
9. Sultan Hamid Al Muktadir (1459-1462), gugur dalam sebuah pandemi.
10. Sultan Zulkifli Al Majid. Lahir cacat; kebutaan dan pendengaran. Pada tahun 1469, kesultanan Aru Barumun diserang oleh kesultanan Malakka, atas perintah Sultan Mansyur Syah yang memerintah antara tahun 1441-1476. Kota pelabuhan Labuhanbilik dibumihanguskan dan Angkatan Laut Kesultanan Aru Barumun dimusnahkan.
11. Sultan Karim Al Mukji (1471-1489)
12. Sultan Muhammad Al Wahid (1489-1512). Gugur dalam pertempuran melawan bajak laut Portugis.
13. Sultan Ibrahim Al Jalil (1512-1523) ditawan dan diperalat oleh Portugis.

Semua anggota dinasti di atas adalah bersuku Batak Gayo. Saat menurunnya kekuasaan Kesultan Aru, maka pihak Aceh mulai menancapka hegemoninya di Aru Barumun. Pihak Aceh berkompetisi dengan para bajak laut Eropa di kekosongan kekuatan politik di daerah tersebut.

Pada tahun 1802-1816, di bawah pimpinan Fachruddin Harahap, seorang Batak Mandailing, dengan gelar Baginda Soripada, penduduk khususnya dari Gunung Tua merebut bagian hulu dari bekas Kesultanan Aru Barumun. Semua lambang kerajaan disita termasuk cap dan simbol-simbol lainnya.

Sementara itu, pada tahun 1293-1339, Kerajaan Silo berdiri di Simalungun. Di Pihak lain, dengan dukungan dari Sultan Mansyur Syah I, Sultan Malakka 1441-1467, agama Islam mulai dikenal di Simalungun pada abad-15. Media pengenalan adalah melalui perdagangan dan interaksi sosial antar pedagang.

Orang-orang Simalungun yang di Kisaran, Tinjauan, Perdagangan, Bandar, Tanjungkasau, Bedagai, Pakam, Sungaikarang dan Bangunpurba masuk Islam.

Pada abad ke-20, masyarakat Simalungun menjadi korban kebijakan Devide Et Impera. Beberapa kerajaan diciptakan. Di antaranya, Kerajaan Dolok Silo, Kerajaan Raya Kahaen, Kerajaan Siantar dan Kerajaan Tanah Jawa.

Dinasti Marah Silu melalui Hidayat Fatahillah di Kesultanan Banten (Sumber: Ismail Muhammad 1978). Ada yang mengatakan bahwa keturunan langsung Gunung Jati, yang sehari-harinya menyebarkan ilmu, mendirikan berbagai lembaga pendidikan di Cirebon, salah satunya yang masih berdiri sekarang sebuah pesantren "Abah Anom" di Buntet, Cirebon.

1. Syarif Hidayat Fatahillah gelar Susuhunan Gunung Jati (1512)
2. Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan(1552)
3. Maulana Yusuf Panembahan Pakalangan (1570)
4. Sultan Maulanan Muhammad Pangeran Ratu Ing Banten (1580)
5. Sultan Abdulmafachir Mahmud Abdul Kadir Kanari (1596)
6. Sultan Abdul Ma'ali Ahmad Kenari (1640)
7. Sultan Agung Tirtayasa Abdul Fathi Abdul Fatah (1651)
8. Sultan Haji Abunhasr Abdul Kahhar (1672)
9. Sultan Abdul Fadhal (1687)
10. Sultan Abul Mahasin Zainul Abidin (1690)
11. Sultan Muh. Syifa Zainul Arifin (1733)
12. Sultan Syarifuddin Ratu Wakil (1750)
13. Sultan Muh. Wasi' Zainul Alimin (1752)
14. Sultan Muh. Arif Zainul Asyikin (1753)
15. Sultan Abdul Mafakih Muh Aliyuddin (1773)
16. Sultan Muhyiddin Zainussolihin (1799)
17. Sultan Muh. Ishak Zainul Muttaqin (1801)
18. Sultan Wakil Pangeran Natawijaya (1803)
19. Sultan Agiluddin Aliyuddin (1803)
20. Sultan Wakil Pangeran Sura Manggala (1808)
21. Sultan Muhammad Shafiyuddin (1809)
22. Sultan Muhammad Rafiuddin (1813)

Dinasti Marah Silu melalui Hidayat Fatahillah di Kesultanan Cirebon sebagai berikut: Ada yang mengatakan bahwa keturunan langsung Gunung Jati, yang sehari-harinya menyebarkan ilmu, mendirikan berbagai lembaga pendidikan di Cirebon, salah satunya yang masih berdiri sekarang sebuah pesantren "Abah Anom" Buntet di Cirebon. Garis turunannya juga mendirikan Kesultanan Kanoman, Keluarga Kecirebonan dan Keluarga Keprabonan, selain Kesultanan Kesepuhan di bawah ini:


1. Sultan Hidayat Fatahillah gelar Sunan Gunung Jati (1479-1568)
2. Pangeran Pasarean/P. Muh. Arifin (1528-1552)
3. Pengeran Arya Kemuning Adipati Carbon I (1552-1565)
4. Panembahan Pakungwati I/P Emas Zainul Arifin (1568-1578)
5. Pangeran Dipati Sedanggayam Carbon II )1578-1649)
6. Panembahan Pakungwati (1649-1662)
7. Sultan Sepuh I Syamsuddin (1678-1697)
8. Sultan Sepuh II Jamaluddin (1697-1720)
9. Sultan Sepuh III Jaenuddin (1720-1750)
10. Sultan Sepuh IV Jainuddin Amir Sena (1750-1778)
11. Sultan Sepuh V Sultan Matangaji/P. Syarifuddin (1778-1784)
12. Sultan Sepuh VI P. Hasanuddin (1784-1790)
13. Sultan Sepuh VIIP. Joharuddin (1790-1816)
14. Sultan Sepuh VIIIP. Raja Udaka (1816-1845)
15. Sultan Sepuh IXP. Raja Sulaeman (1845-1880)
16. Sultan Sepuh XP. Raja Atmaja (1880-1899)
17. Sultan Sepuh XI P. Raja Aluda Tjul arifin Moh. Syamsuddin Nataningrat (1899-1942)
18. Sultan Sepuh XII P. Raja Ningrat (1942-1969)
19. Sultan Sepuh XIII P. Raja Adipati Maulana Pakuningrat SH (1969) (Sumber: Unit Pengelola Keraton Kasepuhan Cirebon)



DINASTI KARO (SIBAYAK)

Kerajaan Haru Wampu berdiri di tanah Karo antara tahun 1200-1508 selama 14 generasi. Pada tahun 1339, kerajaan ini pernah dijajah oleh Milisi Majapahit dari Jawa. Setelah pihak Majapahit diusir, giliran Sultan Ali Mukayyat Syah dari Aceh yang datang untuk menancapkan hegemoninya pada tahun 1508.

Pada tahun 1853, masyarakat Karo bangkit kembali mendirikan Kesultanan Langkat di puing-puing Haru Wampu atas pengakuan dari Sultan Ibrahim Mansyur Syah

Sementara itu di tahun 914 H/1508M, seorang pemuda Karo/Dusun yang masuk sebagai tentara Aceh dan sudah beragama Islam bernama Manang Sukka mendirikan Kerajaan Haru Delitua. Dia memakai gelar Sultan Makmun Al Rasyid I. Permaisurinya bernama Putri Hijau, saudara perempuan dari Sultan Mughayat Syah.

Angkatan Bersenjata Portugis dari Malakka pata tahun 930 H/1523 M menggempur Kesultanan Haru Delitua. Mereka bergerak dan menyisir daerah yang bernama Labuhan Deli sampai Deli Tua sambil menembaki siapa saja manusia yang hidup di daerah tersebut.

Mereka menggempur pasukan Makmun Al Arsyid dengan persenjataan berat dan artileri. Pasukan Makmun Al Rayid dengan bantuan pasukan dari Aceh bertahan di Sukamulia dan semuanya tewas dalam pembantaian tersebut.

Pasukan pengawal istana kerajaan habis dibantai yang terdiri dari semua penduduk yang berjenis kelamin laki-laki. Permaisuri Putri Hijau dengan lima orang putrinya ditawan oleh pasukan keling di bawah tentara Portugis ini. Para kaum keling India ini berasal dari provinsi Goa di India barat. Pasukan tersebut juga didukung oleh orang-orang Macao, Cina. Para putri-putri tersebut menjadi korban kebiadaban perkosaan dari tentara-tentara bayaran tersebut.

Putri Hijau sambil berzikir diikat ke mulut sebuah meriam lalu diledakkan. Tubuhnya hancur lebur tanpa bentuk. Puntung dari meriam Portugis itu menjadi “Keramat Meriam Puntung”, sebuah relik bagi orang-orang Karo Dusun yang muslim.

Pada tahun 1853, Sultan Ibrahim Mansyur Syah, Sultan Aceh, mengangkat Wan Usman di Labuhan Deli dengan nama Sultan Usman Perkasa Alam menjadi Sultan Deli yang pertama. Diperkirakan identitas Batak Karo di kerajaan tersebut setelah itu mulai menurun. Identitas Melayu mulai diperkenalkan.

Sementara itu di tanah Karo pegunungan didirikan kerajaan Sibayak oleh pihak Belanda. Sebenarnya di pegunungan Sibayak telah berdiri kerajaan-kerajaan huta yang kecil yang otoritasnya hanya pada penduduk di satu kampung.

Upaya untuk menciptakan Kerajaan Sibayak yang bersatu dimulai oleh Belanda dalam rangka kebijaksanaan Devide Et Impera.

Di sana terdapat kerajaan yang bernama Kerajaan Lingga yang sejak dahulu kala eksis namun pengaruhnya tidak besar. Kerajaan Lingga ini juga kut serta dalam membentuk komunitas Batak Gayo dan Alas di Aceh.

Nama rajanya di masa Belanda adalah:

Raja Sendi Sibayak Lingga
Raja Kalilong Sibayak Lingga

Keduanya dipilih oleh Belanda dari beberapa raja lingga yang telah eksis berabad-abad tapi dalam bentuk kecil kerajaan-kerajaan desa.

Belanda memutuskan untuk mengkristenkan tanah Karo pegunungan dengan memerintahkan “Nederlandsche Zendings Genootschap” yang kristen protestan kalvinist. Akibatnya kini orang-orang Karo yang Kristen protestan kalvinist tidak mau bergabung, baik itu identitas maupun sosial, dengan orang-orang Toba yang Kristen protestan lutheran dalam HKBP.

Perbedaan identitas juga terdapat di dalam komunitas Karo. Mereka yang bermukim di tanah Karo pegunungan hingga tahun 1905 tetap masih menganut agama tradisional Batak. Dalam abad ke-20 mereka banyak menganut Kristen Protestan Kalvinis. Sementara itu orang Karo Dusun kebanyakan adalah muslim sejak masa kesultanan Haru Delitua (1508-1523).

Akibat penurunan identitas Karo menjadi Melayu banyak orang Karo yang muslim yang tidak mencantumkan marganya saat lahir. Kebangkitan identitas Karo akhirnya terjadi lagi pada era tahun 1950-an. Di mana banyak muslim Karo sudah mengenakan marganya kembali.

DINASTI TANJUNG (Sorkam)

Sejarah marga Tanjung di tanah Batak sangat istimewa. Mereka ini kebanyakan menjadi bangsawan dan kesatria. Dalam sejarah Sisingamangaraja diketahui bahwa orang-orang marga Tanjung menempati posisi panglima daerah militer, seperti Syarief Tanjung, panglima Sisingamangaraja di Dairi.

Sejarah menulis bahwa tahun 1700-an, marga Tanjung dapat mencapai tampuk kekuasaan dan menjadi raja di Sorkam dengan raja pertamanya Raja Junjungan Tanjung Gelar Datuk Bungkuk (Datoek Boengkoek). Sorkam memisahkan diri dari kesultanan Barus, paska konflik keluarga di istana Barus.

Junjungan Tanjung berasal dari Sipultak, Humbang, Toba. Dia berkuasa di Kerajaan Sorkam pada tahun 1757 Masehi. Sebagai sebuah daerah yang otonom dari pengaruh Kesultanan Barus, Sorkam selalu berada dalam bayang-bayang hegemoni raja-raja Barus.

Pada awal tahun 1992, dalam sebuah upaya pencarian sejarah, dibentuklah panitia pemugaran makam dan penyusunan silsilah sembilan tarombo di Sorkam. Keturunan Raja Junjungan Gelar Datuk Bungkuk Tanjung bertugas merajut kembali sejarah para raja-raja Sorkam. Namun usaha ini belum tuntas melakukan usaha pencarian jejak tersebut.

Yang berhasil ditemukan dalam pemakaman kuno tersebut adalah sebuah prasasti Raja Janko Gelar Datuk Raja Amat Tanjung, yang wafat sekitar tahun 1269 H. Kemudian makam Muhammad Amin Tanjung, wafat sekitar tahun 1926 M di Laut Sakutra tak lama berselang menunaikan ibadah haji.

Juga ditemukan sebuah nisan tergeletak di semak belukar dalam posisi miring. Besar dugaan, nisan ini adalah nisan raja Sorkam lain yang hidup pada tahun 1645 M. Selain ini ada beberapa nisan lain yang masih dalam tahap identifikasi.

Dinasti Tanjung adalah sebagai berikut:

1. Raja Junjungan Tanjung (1758-1778)
2. Raja Maiput Tanjung Gelar Datuk Tukang (1778-1792)
3. Raja Jangko Alam Tanjung Gelar Datuk Rajo Amat (1792-1806)
4. Abdul Hakim Datuk Naturihon Tanjung Gelar Rajo Amat I (1806-1841) anak pertama dari no. 3.
5. Raja Parang Tua Tanjung Gelar Datuk Amat II (1841-1853) Sejak saat ini kekuasan Sorkam terbagi lima ke masing-masing anak Raja Parang Tua, diantaranya adalah:
6. Raja Dusun Derak Alam Tanjung gelar Sultan Maharaja Lela (1853-1872)
7. Raja Muhammad Amin Tanjung gelar Sultan Hidayat (1872-1915)
8. Raja Muhammad Hussin Tanjung, gelar Sultan Rahmat Alam (1916-1942).

Keturunan raja-raja Sorkam ini kemudian menyebar ke penjuru nusantara paska kepunahan kerajaan. Beberapa ada yang merantau sampai ke Malaysia.

Dalam konflik antara Fakih Amiruddin dan Sisingamangaraja X, seorang panglima bernama Syarif Tanjung dipercaya oleh Sisingamangaraja X untuk mengamankan Dairi. Jenderal Syarif Tanjung menjadi tangan kepercayaan Sisingamangaraja X dalam menghadapi kekuatan Batak Padri yang dipimpin oleh bere Sisingamangaraja sendiri Fakih Amiruddin. Dia dipercaya memimpin sebuah benteng di Dairi. Syarif Tanjung bersama kaum muslim Batak lainnya berseberangan dengan kekuatan muslim Batak dalam kelompok Padri. Hal ini dikarenakan orang-orang Batak Padri ingin memurnikan agama yang dianut muslim Batak yang dianggap banyak menyimpang dan bercampur dengan adat. Konflik ini berkembang lebih luas dalam peta kekuatan kerajaan Batak di satu pihak dan kelompok Padri Batak di pihak lain.

Benteng-benteng kedua belah pihak yang bertikai adalah:

Benteng Silantom di Humbang dipimpin oleh Soaloon Harianja. Benteng Simangumban, Pahae dijaga oleh Raja Pandikar Siregar dengan anak buahnya Amanibinsar Sinambela seorang teman sepermainan di waktu kecil Fakih Amisuddin. Benteng Pangaloan di Pahae dipimpin oleh Raja Gading Nainggolan. Benteng Tanggabatu di Humbang dipimpin oleh Sisingamangaraja X sendiri. Benteng Paranginan di Humbang dipimpin oleh Raja Amantaras Sianturi. Benteng Muara dipimpin oleh Ronggur Simorangkir. Benteng Bakkara dipimpin oleh Putra Mahkota Amandippu Sinambela. Benteng Tamba dipimpin oleh Parultop Sinambela.

Rakyat Batak Muslim yang dianggap sebagai golongan adat juga mendukung kekuasaan Sisingamangaraja X di berbagai tempat. Salah satu putra terbaik mereka telah menjadi panglima Sisingamangaraja X di Benteng Salak Dairi yaitu Panglima Syarif Tanjung, seorang yang menjadi teman dekat Raja. Benteng ini merupakan sistem pertahanan Sisingamangaraja X untuk mengamankan Salak Dairi sebagai ibukota kedua pemerintahan Sisingamangaraja X

Benteng Tanjungbunga dipimpin oleh Raja Baganding Sagala. Benteng Dolok Sanggul dipimpin oleh Raja Humirtok Rambe, seorang Raja daerah Tukka dekat Barus yang sering bertindak sebagai duta besar ke Aceh. Benteng Laguboti dipimpin oleh Raja Sahala Simatupang.

Perang ini dimenangkan oleh Fakih Amiruddin dengan pasukan Padri Bataknya dan mendirikan pemerintahannya dengan ibukota Siborong-borong.

Istana pemerintahan Fakih Amiruddin berpusat di Siborong-borong pada sebuah gedung yang setelah kepergian Fakih Amiruddin, tahun 1800-an, istana tersebut menjadi rumah kediaman pegawai Controleur/BB Belanda.

Wilayah kekuasaan Fakih Amiruddin di Uluan, Porsea diberikan dalam tanggung jawab Mansur Marpaung. Mansur Marpaung sendiri selain sebagai panglima pasukan Fakih Amiruddin, juga merupakan putra daerah Porsea. Paska perang, dia menduduki Asahan dan menjadi Tuanku Asahan. Kantor pemerintahan Mansur Marpaung sekarang menjadi sebuah mesjid di Porsea. Di Uluan juga, yang bukan wilayah Mansur, memerintah Alamsyah Dasopang kantornya berada dalam sebuah rumah yang kini menjadi sebuah pasar.

Wilayah Toba dipimpin oleh Idris Nasution dan kantornya berada di Laguboti yang kemudian di zaman Belanda menjadi sekolah pertukangan. Panglima lain, Jagorga Harahap menjadi penanggung jawab daerah Pahae Silindung, dan kantor pemerintahannya berada di Sigompulon yang pada jaman Belanda berubah menjadi HIS/Sigompulon. Di wilayah Silindung yang lain memerintah Raja Gadumbang yang berkantor di Pearaja sebuah tempat milik Jagorga Harahap dalam bisnis garam dan di zaman Belanda dirampas menjadi kantor pusat HKBP.

Panglima yang lain yakni Pemasuk Lubis memimpin sebuah sekolah di bawah pemerintahan Fakih Sinambela di Sipoholon yang sekarang menjadi Sekolah Pendeta HKBP. (Sumber: Tuanku Rao, Ompu Parlindungan)
loading...

Share this

Related Posts

First