Orang Jawa di Tanah Batak

Sejarah Orang Jawa di Tanah Batak
By. Julkifli Marbun



Dalam candaan keseharian yang sering terdengar di Jakarta, terlontar irama stereotipe yang sering kali mengundang tawa. Di Indonesia, dan mungkin saja di berbagai negara, etnik dan suku sering dibuat sebagai bahan canda tawa. Dan itu sah-sah saja.

Banyak canda tawa, yang sebenarnya tujuannya untuk menghibur, sering berbelok penjadi sebuah persepsi. Persepsi yang berbahaya karena tidak didukung oleh fakta yang valid.

Salah satu contohnya adalah sebuah kaset canda berbahasa Batak yang berisi anekdot dari berbagai suku. Misalnya anekdok dari orang Jawa terhadap orang Batak dan sebaliknya. Satu hal yang dibahas di sini adalah, mengenai anekdot “bila orang jawa sendiri, dia akan kerja atau bertani, bila mereka ramai-ramai, mereka akan transmigrasi.”

Ternyata anekdot ini sering dibuat persepsi bahwa orang Jawa merupakan suku yang tidak gemar merantau dan kehadiran mereka di berbagai tempat di luar Jawa merupakan akibat dari program transmigrasi penjajah Belanda dan pemerintan RI orde Baru. Hasilnya, banyak orang di daerah-daerah yang memandang miring eksistensi orang-orang Jawa yang dianggap sebagai orang pusat yang datang mengambil potensi ekonomi daerah. Persepsi ini bahkan seringkali menimbulkan konflik, diskriminasi dan rasialisme paling tidak dalam level stereotipe.

Ini merupakan persepsi yang sangat menyesatkan karena berbagai bukti sejarah mencatat bahwa beberapa kampung jawa telah lama eksis setidaknya sejak sebelum abad ke-10 M di berbagai tempat di Indonesia, khususnya di Sumatera.

Di pinggiran Sungai Aceh, misalnya, telah lama ada nama Kapung Jawa atau Gampong Jawa dan bahkan disebut berkali-kali dalam manuskrip Sejarah Raja-raja Aceh. Dalam peradaban Batak, Kampung Jawa dan orang-orang Jawa sudah berada di tanah Batak, khususnya yang urban, untuk berdagang dan sebagai koloni masyarakat pekerja saat itu. Begitu juga di pulau-pulau lain di luar pulau Jawa.

Dalam manuskrip yang menceritakan Barus, Kesultanan Batak di pesisir Barat di Sumatera dikatakan bahwa salah satu suku yang tinggal dan menjadi warga negara di kesultanan adalah orang Jawa, di samping orang Aceh, Siak, Pidie, Meulaboh, Minang, Cina, India, Arab dan lain sebagainya.

Bahkan orang-orang Jawa disebutkan muncul menjadi penguasa di berbagai tempat. Seperti yang tertulis: “Alkisah maka tersebutlah perkataan kepada Sultan Marah Pangsu (Pardosi Pohan). Adapun Sultan Marah Pangsu itu dia orang bersaudara dua laki-laki satu perempuan, itu perempuan mati di laut ditawan (orang) Jawa……” (lihat hal 43 dari manuskrip kumpulan naskah Barus yang dijilidkan lalu disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan no. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.

Dalam sejarah nasional juga disebutkan mengenai kedatangan tentara-tentara Jawa dalam ekspedisi-ekspedisi militer. Baik itu dalam ekspedisi Kerajaan Melayu Sriwijaya maupun Imperium Majapahit.

Kolaborasi Peradaban Batak dan Jawa: Simalungun dan Dairi

Disebutkan dalam sejarah bahwa pada tahun 1339 M, Pasukan ampibi Kerajaan Majapahit melakukan infiltrasi di muara Sungai Asahan. Dimulailah upaya invasi terhadap Kerajaan Silo. Raja Indrawarman, seorang Raja keturunan Jawa (Pujakesuma) yang meemrintah di Simalungun, tewas dalam penyerbuan tersebut. Kerajaan Silo berantakan, keturunan raja bersembunyi di Haranggaol.

Pasukan Majapahit di bawah komando Perdana Menteri Gajah Mada, mengamuk dan menghancurkan beberapa kerajaan lain; Kerajaan Haru Wampu serta Kesyahbandaran Tamiang (sekarang Aceh Tamiang) yang saat itu merupakan wilayah kedaulatan Samudra Pasai.

Pasukan Samudra Pasai, di bawah komando Panglima Mula Setia, turun ke lokasi dan berhasil menyergap tentara Majapahit di rawa-rawa sungai Tamiang. Gajah Mada bersma pengawal pribadinya melarikan diri ke Jawa meninggalkan tentaranya terkepung oleh pasukan musuh.

Para Keturunan Indrawarman kembali ke kerajaan dan mendirikan kerajaan baru bernama Kerajaan Dolok Silo dan Kerajaan Raya Kahean.

Sementara itu, Kerajaan Dolok Silo dan Raya Kahean berakulturasi menjadi kerajaan Batak Simalungun, namun tetap berciri khas Hindu Jawa absolut. Konon kerajaan ini mampu berdiri selama 600 tahun. Menjadi dinasti tertua di kepulauan Indonesia di abad 20. Sekitar 250 tahun lebih tua dari Dinasti Mataram di Pulau Jawa.

Pada saat yang sama dua kerajaan lain muncul kepermukaan; Kerajaan Siantar dan Tanah Jawa. Raja di Kerajaan Siantar merupakan keturunan Indrawarman, sementara Pulau Jawa, dipimpin oleh Raja Marga Sinaga dari Samosir. Penamaan tanah Jawa untuk mengenang Indrawarman.

Selain eksistensi komunitas Jawa di Simalungun yang sudah berabad-abad, diketahui juga bahwa banyak tokoh-tokoh Batak yang diyakini merupakan keturunan Jawa seperti Mpu Bada yang diyakini orang Dairi sebagai nenek moyang mereka dan merupakan keturunan Jawa yang datang ke Sumatera.

Jadi tidak mudah untuk men-judge bahwa orang Jawa adalah orang pendatang akibat transmigrasi ke Sumatera atau ke salah satu provinsi, karena mungkin saja mereka telah terlebih dahulu eksis di tempat tersebut jauh sebelum nenek moyang orang Sumatera, atau Batak misalnya, mengalami penyebaran penduduk.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »