Lapu-lapu Dan Tiga Opsi Sektarian

A. Syafii Maarif: Lapu-Lapu

Sewaktu memegang mata kuliah sejarah Asia Tenggara pada jurusan sejarah IKIP Jogjakarta sekitar 30 tahun yang lalu, saya sudah mengenal nama Lapu-Lapu (1490?-1560?), seorang pahlawan Muslim di Pulau Maktan, Sebu, Filipina. Sebagai penguasa Maktan, Lapu-Lapu pernah diancam oleh Ferdinand Magellan (1480?-1521), pelaut pengeliling dunia, petualang, prajurit, kelahiran Portugis warga negara Spanyol yang mendarat di pulau itu dalam perjalanan ke Timur mencari rempah-rempah.

Sewaktu memegang mata kuliah sejarah Asia Tenggara pada jurusan sejarah IKIP Jogjakarta sekitar 30 tahun yang lalu, saya sudah mengenal nama Lapu-Lapu (1490?-1560?), seorang pahlawan Muslim di Pulau Maktan, Sebu, Filipina. Sebagai penguasa Maktan, Lapu-Lapu pernah diancam oleh Ferdinand Magellan (1480?-1521), pelaut pengeliling dunia, petualang, prajurit, kelahiran Portugis warga negara Spanyol yang mendarat di pulau itu dalam perjalanan ke Timur mencari rempah-rempah.

Lapu-Lapu disuruh memilih tiga opsi: taat kepada Raja Spanyol, mengakui raja Kristen sebagai tuannya, dan bayar upeti. Jika tiga opsi dipenuhi, Lapu-Lapu dan pengikutnya akan diperlakukan sebagai teman; tetapi bila tidak, pedang Magellan akan menebas kepala mereka. Jawaban Lapu-Lapu tegas: "Mari kita bertempur." Padahal, senjata yang dimiliki hanyalah bambu runcing dan panah beracun. Pertempuran sengit tidak dapat dielakkan. Magellan dan banyak pasukannya terbunuh dalam pertempuran pada 27 April 1521 itu, sedangkan mayatnya entah di mana. Lapu-Lapu tidak mau menyerahkan kepada pihak penyerang yang masih hidup, sekalipun telah ditawari hadiah besar.

Episode di atas diabadikan oleh Antonio de Pigafetta, seorang Italia, sekretaris Magellan dalam petualangannya mengelilingi dunia. Informasi di atas saya kutip dari tulisan Alan Villiers, marinir Australia yang pernah menapaki perjalanan panjang Magellan dari Spanyol ke timur pada tahun 1970-an di bawah judul "Magellan: A Voyage into the Unknown Changed Man's Understanding of his World" (Lih. Microsoft Encarta 2006, hlm. 1-9).

Raja Kristen yang tersebut dalam opsi di atas bernama Humabon, penguasa Sebu yang telah dibaptis oleh Magellan bersama 800 pengikutnya, lalu diajak memerangi Lapu-Lapu. Sekalipun Magellan mati terbunuh dan tulang belulangnya entah disimpan di mana oleh Lapu-Lapu, jasa terbesarnya adalah menjadikan Filipina sebagai bangsa berpenduduk mayoritas Katolik sampai hari ini. Lapu-Lapu? Diakui sebagai Pahlawan Filipina yang pertama melawan imperialisme Barat, dan sebuah kota di Maktan dinamakan Kota Lapu-Lapu.

Seorang pembersih hotel Shangri-La di pulau itu, Crisanto, dari sekte Kristen non-Katolik, begitu bangga menceritakan kepada saya dan istri tentang kehebatan Lapu-Lapu, sewaktu kami menginap di hotel itu pada 13-16 Maret 2006 dalam rangka menghadiri "Cebu Dialogue on Regional Interfaith Cooperation for Peace, Development and Human Dignity" (Dialog Sebu tentang Kerja Sama Lintas Agama untuk Perdamaian, Pembangunan, dan Martabat Manusia). Rupanya karyawan hotel ini juga berpendirian bahwa imperialisme harus dilawan karena tidak sesuai dengan prikeadilan dan prikemanusiaan. Itulah sebabnya Lapu-Lapu disanjungnya, sekalipun berlainan agama. Jika saya semula hanya ingat tahun pertempuran 1521, Crisanto langsung menyebutkan bulan dan tanggalnya.

Dialog Sebu dilangsungkan di Hotel Shangri-La, dibuka oleh Presiden Gloria Macapagal-Arroyo dan pidato oleh Perdana Menteri Selandia Baru, Helen Clark. Diikuti oleh sekitar 150 peserta dari 15 negara Asia Tenggara dan Pasifik, sebagai kelanjutan Dialog Jogjakarta pada Desember 2004 dengan inisiator pertama Australia, Indonesia, dan Selandia Baru. Amat berbeda dengan suasana kedatangan Magellan yang mengancam Lapu-Lapu, Dialog Sebu berlangsung mulus, beradab, dan penuh persaudaraan lintas agama. Dalam sidang pleno terakhir, saya bahkan mengusulkan agar diadakan pula dialog antara komunitas agama dan komunitas nonagama, bahkan dengan komunitas ateis. Tokh semuanya adalah penduduk sah dari planet bumi yang tunggal ini. Tentu usul ini bersifat kontroversial, tetapi ada juga yang memperhatikan.

Alasan saya adalah jika perdamaian dunia hendak diwujudkan, sekalipun susah sekali, maka dialog semestinya tidak hanya antara orang beriman. Dengan kaum ateis pun dialog perlu dilakukan, dengan syarat masing-masing pihak bersedia untuk saling menghargai dalam posisi yang sama, bukan untuk saling menghancurkan. Jelas ini tidak mudah, tetapi bukan mustahil, jika filosofi yang kita pakai adalah: "Umat manusia itu adalah satu komunitas (ummatan wahidah)."

Akhirnya, jika Magellan tidak sampai ke Filipina, tentu sebagian besar penduduk Filipina adalah Muslim. Pertanyaannya adalah: sekiranya itu yang berlaku, apakah keadaan Filipina yang Muslim itu akan lebih baik dibandingkan dengan sebuah Filipina yang Katolik? Indonesia adalah bangsa Muslim terbesar di muka bumi, tetapi dalam bisnis siapa yang berdaulat di sini? Sama halnya dengan Filipina yang Katolik, siapa yang berdaulat di sana dalam dunia bisnis? Bukan penduduk asli Filipina.

Hotel Shangri-La yang mewah itu bukanlah milik warga Filipina. Begitu juga pusat-pusat industri dikuasai asing. Sopir kami seorang Filipina mengatakan, "Warga Filipina hanyalah sebagai pekerja," sebuah ungkapan hampir putus asa. Inilah dua bangsa di Asia Tenggara yang tingkat korupsinya cukup bersaing: Filipina dan Indonesia! Kedua bangsa ini telah melahirkan banyak pahlawan kemerdekaan, tetapi setelah merdeka mengapa malah tersungkur?

http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=19
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »